YOGYAKARTA, LASPELA – Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menargetkan terkumpul data 2,2 juta pelaku usaha kreatif di 99 kota dan satu kabupaten hingga tahun depan. Semua data akan terhimpun dalam Bekraf Information System in Mobile (Bisma).
“Angka 2,2 juta ini kami dapatkan dari direktori ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka tersebar di 99 kota dan 1 kabupaten,” kata Direktur Riset dan Pengembang Bekraf Wawan Rusiawan di Yogyakarta, Selasa (10/7/2018).
Hadir bersama Deputi Pemasaran Josua Puji Mulia Simanjuntak serta Direktur Harmonisasi dan Standarisasi Sabartua Tampubolon, Wawan melakukan sosialisasi Bisma pada para pelaku ekonomi kreatif DI Yogyakarta.
Bisma adalah sistem data usaha kreatif di Indonesia yang akan memudahkan calon pembeli mendapatkan produk.
Bisma juga diharapkan menjadi ajang komunikasi antarpelaku usaha ekonomi kreatif dengan Bekraf terkait program dan dukungan.
Hadir sejak Februari 2016, saat ini dari 8,2 juta usaha kreatif yang diketahui Bekraf, baru sekitar 16 ribu usaha yang tergabung di Bisma.
“Kendala utama adalah soal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang belum dimiliki pelaku,” lanjut Wawan.
Padahal HAKI inilah yang membedakan suatu usaha bisa dikategorikan sebagai
usaha kreatif atau tidak. Bekraf memaparkan baru sekitar 11% dari seluruh usaha yang memiliki HAKI.
Khusus DI Yogyakarta, Wawan menyatakan dari 172.230 usaha kreatif yang terdata baru 590 yang baru tergabung di Bisma. Kebanyakan usaha itu bergerak dalam bidang fesyen, kuliner, dan kriya.
Dengan tingkat jaringan informasi yang lebih baik dibandingkan daerah lain, Bekraf menilai DI Yogyakarta memiliki potensi besar untuk bergabung dengan Bisma.
“Tinggal bagaimana memberikan sosialisasi dan dukungan kepada pelaku-pelaku di tiga sektor besar untuk memanfaatkan BISMA. Kebanyakan memang pelaku usaha yang belum tergabung tidak memahami teknologi informasi,” lanjutnya.
Deputi Pemasaran Bekraf Josua Puji Mulia Simanjuntak mengatakan salah satu keuntungan pelaku usaha ekonomi kreatif bergabung di BISMA adalah meningkatkan nilai tambah produknya.
“Dari BISMA, pelaku usaha diharapkan mengetahui kekurangan produknya sehingga menambah nilai jual. Nilai jual ini menjadi kunci pemasaran,” katanya.
Menurut dia, nilai tambah produk sangat penting karena sebab apapun kondisi pasar, produk itu tetap akan diterima oleh pasar dalam dan luar negeri.
Terlebih lagi adanya ancaman perang dagang antar negara adikuasa, produk ekonomi kreatif yang akan menjadi ujung tombak perdagangan internasional.
Saat ini, kata dia, pendapatan karena adanya nilai tambah produk kreatif hanya sekitar Rp122 juta atau Rp10 juta untuk tiap pelaku usaha.
“Kami berharap, kehadiran nilai tambah akan menjadikan produk Indonesia bisa seperti usaha internasional yang mampu diterima oleh banyak negara,” imbuh Josua.
Pada 2016, Bekraf mencatat ekspor ekonomi kreatif mencapai US$20 milyar per tahun dan menyerap 16,91 juta pekerja.
Sistem BISMA diharapkan mampu membangun database ekenomi kreatif yang terintegrasi dan meningkatkan hasil. (Dikutif dari Gatra.com)