Pemda dan Bulog Diperintahkan Cek Stok Beras ke Gudang
JAKARTA, LASPELA– Pemerintah daerah (Pemda) diminta mengembalikan beras sejahtera (Rastra) yang rusak atau tidak layak kepada Bulog. Bulog pun diwajibkan menggantinya dengan beras berkualitas yang lebih baik, sesuai kualifikasi harga pemberian beras (HPB).
Hal tersebut disampaikan Menteri Sosiah Khofifah Indar Parawansa yang prihatin, karena subsidi pangan yang sudah berjalan 19 tahun, namun masih banyak mendapat laporan dan fakta di lapangan terkait masih banyaknya masyarakat yang menerima rastra tidak layak konsumsi.
“Ada yang ngeluh berasnya pecah-pecah atau hancur , berkutu, berwarna kuning hingga kehitaman, dan berbau apek,” kata Mensos dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/7/2017).
Menurut Khofifah, seharusnya sudah tidak ada lagi beras yang tidak layak, pasalnya dengan HPB senilai Rp9.220 per kilogram, semestinya masyarakat menerima beras layak.
Harga tebus rastra sendiri adalah Rp1.600/kilogram, sementara pemerintah mensubsidi sebesar Rp7.620/kilogram.
“Kasihan masyarakat kalau diberi beras jelek, karena beras adalah makanan pokok masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Untuk mencegah kejadian ini berulang, Khofifah minta Pemda dan Bulog secara aktif turun ke lapangan dan mengecek langsung stok beras yang ada di gudang-gudang seluruh Indonesia sebelum didistribusikan dan memastikan beras tersebut layak konsumsi.
Kemensos saat ini, lanjutnya, sedang menunggu feedback validasi data dari daerah.
Harapannya update data dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu bulan Mei dan November.
Dalam program rastra, Khofifah menjelaskan Kemensos bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sejak tahun 2013, dan Bulog bertanggungjawab pada pengadaan dan distribusinya menuju titik bagi, dengan tim teknis aparatur Desa dan Lurah.
Pemerintah saat ini terus mengupayakan percepatan konversi subsidi pangan (Rastra) ke bantuan pangan, untuk menjamin kualitas beras dan berbagai jenis sembako lainnya antara lain gula, minyak, tepung terigu dan telur.
“Prosesnya bertahap, tahun 2017 baru mencapai 1,28 juta keluarga. Namun tahun 2018 jumlahnya berkali lipat menjadi untuk 10 juta keluarga,” ungkapnya. (Poskota)
Editor: Stefanus H. Lopis