Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai, usulan dan besaran biaya saksi pemilu tidak rasional. Jika memang disepakati anggaran bersumber dari APBN, parpol harus siap diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena mereka telah terhitung menerima dana langsung untuk operasional. Menurut Tjahjo, parpol harus terbuka informasi dan clean and clear.
“Jika seorang saksi Rp 300 ribu, dikalikan bisa mencapai Rp 10 triliun. Belum lagi jika terjadi putaran kedua, negara harus mengeluarkan lagi anggaran untuk membayar seluruh saksi. Itu sangat besar,” kata Tjahjo di Jakarta, kemarin.
Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu Lukman Edy mengatakan, jumlah yang dibicarakan di panja tidak sebanyak itu (10 triliun). Dia mengklaim, anggaran yang dibahas hanya sekitar Rp 1,5 triliun. Ini, kata dia, seiring keseriusan UU untuk menghambat merebaknya politik uang dalam pemilihan calon presiden. “Biasanya banyak yang membiayai saksi,” ujar Lukman.
Dia tak menampik, dana saksi dibiayai negara, memang menjadi diskusi antara panja dan pemerintah. Posisi terakhir menyerahkan kepada pemerintah untuk menghitung kemampuan keuangan negara, berapa yang dibutuhkan. Panja meminta pemerintah untuk berkoordinasi dengan kementerian keuangan tentang hal tersebut.
Ada beberapa pertimbangan atas usulan itu (dana saksi dibiayai negara) yakni disepakatinya pengetatan audit terhadap dana kampanye dan dana pemilu oleh peserta pemilu, baik parpol maupun calon presiden. Selain itu peserta pemilu, parpol, dan calon presiden wajib menyampaikan laporan keuangannya kepada KPU dengan jujur, bahkan juga kepada KPK.
“Audit dilakukan oleh lembaga audit publik yang ditunjuk KPU. Penyumbang baik perseorangan maupun perusahaan wajib juga melaporkan kepada KPU. Selain itu penyumbang harus dengan identitas yang jelas dan tidak melebihi kemampuannya yang terlihat dalam catatan pembayaran pajak,” katanya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Mochammad Afifuddin menilai, pembiayaan saksi pemilu dari APBN, bentuk ketidakpercayaan parpol terhadap panwaslu di TPS. Menurut dia, fungsi panwaslu di setiap TPS bisa dikuatkan dengan pengawasan lebih ketat, sehingga peran saksi parpol tidak perlu signifikan.
“Prinsipnya, Bawaslu ini pelaksana undang-undang. Kami ingin memperkuat pasukan pengawasan dan jadi terobosan,” ujar Afifuddin.
Salah satu pertimbangan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak adalah penghematan biaya. Biaya sebanyak itu (10 triliun) terlalu besar untuk mengakomodasi saksi. Parpol, kata dia, harus mempercayai lembaga pengawas. “Kami di Bawaslu senantiasa menguatkan fungsi dan tugas pengawasan dalam pelaksanaan pemilu,” katanya.
Sumber: harnas