MASYARAKAT Bangka Belitung dikenal sebagai masyarakat yang damai. Perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa telah membentuk watak sosial yang toleran, tenang, dan mampu menyelesaikan perbedaan dengan cara damai. Bahkan ketika terjadi aksi-aksi demonstrasi di DPRD atau provinsi, suasananya tetap tertib—ada doa bersama, salat berjamaah, dan dialog dengan aparat.
Namun, kedamaian yang telah lama menjadi identitas itu kini tampak goyah. Aksi besar ribuan penambang rakyat di Kantor PT Timah, yang bertepatan dengan kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Pangkalpinang, menandai titik balik penting. Masyarakat yang selama ini sabar, kini mengamuk. Kesabaran itu rupanya ada batasnya.
Kemarahan dari Tanah yang Tenang.
Bangka Belitung selama ini dikenal bukan hanya penghasil timah terbesar di Indonesia, tapi juga contoh hidup harmoni antaretnis. Namun, di balik itu, bertahun-tahun masyarakat menanggung beban ketimpangan ekonomi tambang.
Data Kementerian ESDM (2024) mencatat bahwa lebih dari 60 persen aktivitas penambangan timah di Babel dilakukan oleh penambang rakyat, namun nilai tambah dan keuntungan terbesar justru dinikmati korporasi besar, termasuk BUMN. Harga jual timah mentah dari penambang rakyat sering kali ditetapkan sepihak dan jauh di bawah harga pasar internasional.
Penambang rakyat menuntut harga minimal Rp300.000 per kilogram, sesuai kadar Sn yang dihasilkan. Mereka juga meminta pembubaran Satgas tambang yang dianggap bertindak represif serta mendesak reformasi tata kelola timah agar lebih transparan dan berkeadilan. Tuntutan ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi soal martabat dan ruang hidup.
Masyarakat Bangka Belitung selama ini bertahan dengan cara damai, tetapi ketika kebijakan negara dianggap lebih berpihak kepada korporasi daripada rakyat kecil, maka keheningan berubah menjadi kemarahan. Inilah bentuk protes sosial yang lahir bukan dari ambisi politik, melainkan dari keputusasaan struktural.
Kebijakan yang Timpang dan Luka yang Panjang
Timah telah menjadi denyut ekonomi Bangka Belitung selama lebih dari seabad. Namun sejak liberalisasi tambang rakyat di awal 2000-an, muncul jurang lebar antara penambang kecil dan pelaku besar. Kebijakan tambang nasional sering kali menempatkan penambang rakyat pada posisi “toleransi hukum”: dibutuhkan untuk menjaga ekonomi lokal, tetapi tidak diakui secara penuh dalam regulasi formal.
Akibatnya, banyak penambang beroperasi di wilayah abu-abu hukum—tidak resmi, namun juga tidak sepenuhnya ilegal. Ketika negara melakukan penertiban, mereka menjadi korban. Ketika harga jatuh, mereka tak memiliki daya tawar.
Bangka Belitung pernah dijuluki “Provinsi Damai”, tetapi kedamaian tanpa keadilan sosial adalah ilusi. Ledakan amarah hari ini adalah akumulasi dari kebijakan yang tidak menyentuh akar masalah: ketimpangan akses, monopoli harga, dan pengelolaan sumber daya yang hanya berpihak pada sedikit orang.
Presiden dan Momentum Keadilan Tambang
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Bangka Belitung, yang disertai dengan penyerahan aset rampasan tambang kepada PT Timah—enam smelter, 680 ton logam timah, dan 108 alat berat—sebenarnya merupakan momentum penting. Tapi ironisnya, di saat negara mencoba menegakkan hukum terhadap praktik ilegal, rakyat kecil justru memprotes kebijakan yang dianggap menutup ruang hidup mereka.
Pemerintah harus berhati-hati agar agenda penertiban tambang tidak sekadar menjadi tindakan hukum yang dingin tanpa empati sosial. Pendekatan represif terhadap penambang rakyat hanya akan memperluas jurang ketidakpercayaan. Sebaliknya, jika Presiden menggunakan momentum ini untuk membuka ruang dialog dan memperbaiki tata kelola secara partisipatif, maka Bangka Belitung bisa menjadi model baru reformasi tambang nasional yang berkeadilan.
Membangun Tata Kelola yang Manusiawi
Ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk meredam konflik sekaligus memperbaiki sistem pertambangan rakyat:
1. Menetapkan harga dasar timah rakyat secara transparan
Pemerintah harus membentuk tim penentu harga yang melibatkan unsur akademisi, pemerintah daerah, dan perwakilan penambang. Mekanisme ini penting agar harga timah tidak sepenuhnya ditentukan korporasi.
2. Kemitraan antara BUMN dan penambang rakyat
PT Timah dan perusahaan smelter besar perlu membuka model kemitraan koperatif dengan koperasi lokal. Penambang tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga bagian dari rantai nilai.
3. Reformasi satgas tambang
Penegakan hukum tetap diperlukan, tetapi harus mengedepankan prinsip restorative justice—menyelesaikan persoalan dengan dialog dan perbaikan sistem, bukan semata hukuman.
4. Diversifikasi ekonomi lokal
Ketergantungan penuh pada tambang adalah sumber kerentanan. Pemerintah daerah perlu memperkuat sektor pariwisata, pertanian, dan industri kreatif sebagai alternatif ekonomi berkelanjutan.
Belajar dari Bangka Belitung
Aksi di Kantor PT Timah bukan sekadar berita tentang demonstrasi. Ia adalah pesan moral dari rakyat yang selama ini sabar namun tak pernah benar-benar didengar.
Bagi masyarakat Bangka Belitung, ini saatnya menegaskan bahwa kedamaian tidak sama dengan kepasrahan.
Bagi pemerintah, ini peringatan bahwa stabilitas sosial tidak bisa dipertahankan di atas ketimpangan ekonomi.
Jika negara mampu mendengar suara rakyat dan membangun kebijakan tambang yang manusiawi, maka Bangka Belitung bisa kembali menjadi simbol kedamaian—bukan karena diam, tetapi karena adil. (*)

Leave a Reply