Bangka Belitung pernah harum di dunia, bukan karena timah, bukan pula sawit.
Harum itu berasal dari lada putih Muntok yang sejak era VOC hingga kolonial Inggris menjadi primadona Eropa.
Lada Babel disejajarkan dengan kopi Kolombia, teh Sri Lanka, dan cokelat Ghana ikon global yang menjadi identitas negara.
Tetapi hari ini, harumnya tinggal kenangan. Produksi lada merosot tajam.
Petani malas menanam, kebun terbengkalai, pupuk melambung mahal, bibit tak berkualitas, harga tidak menentu, penyakit tanaman merajalela.
Pemerintah daerah? Seolah kehilangan fokus. Semua energi tersedot pada timah dan sawit—dua komoditas instan yang justru menenggelamkan jati diri Babel.
Krisis Identitas: Dari Kejayaan ke Ketergantungan
Kita lupa sejarah. Saat krisis moneter 1998 meluluhlantakkan ekonomi, Babel justru bertahan karena lada dan karet.
Rakyat menyambung hidup tanpa timah. Itu bukti: perkebunan rakyat lebih tangguh daripada tambang sesaat.
Ironinya, hari ini kita justru menyerahkan nasib pada timah yang 80% kata Presiden Prabowo sendiri diselundupkan keluar negeri.
Rakyat hanya mendapat lubang bekas tambang, air keruh, dan tanah tandus.
Sawit pun tak kalah rumit: menambah devisa, tetapi juga menghadirkan konflik lahan, monokultur, dan ketergantungan global.
Sementara itu, lada yang ramah lingkungan, bernilai tinggi, dan punya sejarah panjang malah dibiarkan mati suri.
Political Will yang Lenyap
Yang paling menyakitkan bukan sekadar jatuhnya produksi, melainkan lenyapnya political will.
Pemerintah daerah lebih rajin mengurus izin tambang dan ekspansi sawit ketimbang membangun ulang kejayaan lada.
Kejayaan lada hanya menjadi visi misi pemerintah daerah indah di atas kertas, tetapi hampa di lapangan.
Lada hanya dijadikan jargon festival budaya, bukan prioritas ekonomi.
Tidak ada strategi riset bibit unggul, tidak ada kebijakan harga dasar, tidak ada perlindungan serius untuk petani.
Elite politik lebih sibuk bicara hilirisasi timah dan investasi sawit.
Pertanyaan sederhana: siapa yang lantang membela lada?
Jawabannya: hampir tidak ada.
Itulah pengkhianatan paling telanjang terhadap sejarah Babel.
Jalan Pulang ke Jati Diri
Kita harus berani balik arah. Lada dan karet bukan sekadar komoditas; keduanya adalah fondasi sejarah, simbol budaya, sekaligus pilar ekonomi berkelanjutan.
Revitalisasi lada menuntut langkah nyata:
Rakyat: perlindungan harga, pasar yang jelas, bibit unggul.
Negara: insentif, riset, pembenahan distribusi pupuk, penertiban mafia perdagangan.
Pasar: membangun kembali brand global Muntok White Pepper.
Lingkungan: mengembalikan keseimbangan tanah dan hutan yang rusak oleh tambang dan sawit.
Kita tidak kekurangan contoh. Kolombia bangga dengan kopi, Vietnam agresif dengan beras, Sri Lanka hidup dari teh.
Mereka fokus pada unggulan, bukan menebar ambisi setengah hati.
Babel seharusnya mencontoh, bukan terlena pada euforia sesaat timah dan sawit.
Jangan Jadi Generasi Pengkhianat
Sejarah sudah memberi pelajaran: lada dan karet menyelamatkan Babel dari badai krisis 1998.
Jika hari ini kita rela menyingkirkannya demi komoditas instan, maka kita sedang menggadaikan masa depan anak cucu.
Timah seharusnya disimpan sebagai tabungan generasi mendatang, bukan diobral ke meja penyelundup.
Sawit hanyalah tren global yang sewaktu-waktu bisa rontok. Tetapi lada adalah akar, marwah, dan identitas Babel.
Menolak Jadi Negeri Terkutuk
Babel tidak boleh dicatat sejarah hanya sebagai tanah tambang yang bopeng dan perkebunan sawit yang rapuh.
Babel harus kembali dikenang sebagai negeri lada—negeri yang harumnya sampai ke meja makan dunia.
Jika kita terus berpaling, generasi ini akan tercatat sebagai generasi paling kelam: generasi yang menukar harum lada putih dengan debu timah yang diselundupkan dan hutan sawit yang mencekik.(*)
Leave a Reply