Religi  

“Tuhan, Aku Lelah” (Sebuah Refleksi Iman dan Pergumulan Masa Kini)

Oleh : Pendeta Frank Sinatra (Bamag LKKI)

Avatar photo

Mazmur 42:6–12

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (ayat 6)

 

Ada hari-hari ketika tubuh kita masih bisa bergerak, tetapi hati kita seperti kehilangan tenaga.
Kita tetap berangkat bekerja, tetap beribadah, tetap tersenyum di depan orang lain — tapi di dalam, ada kekosongan yang tak mudah dijelaskan.

 

Kelelahan jiwa sering datang tanpa tanda. Ia menyelinap lewat rutinitas yang menumpuk, tanggung jawab yang tak pernah berhenti, dan ekspektasi yang terasa terlalu berat. Kita mulai kehilangan rasa, kehilangan arah, kehilangan semangat untuk berharap.
Kita bisa saja tetap aktif di luar, tapi di dalam, seolah ada bagian diri yang perlahan padam.

 

Itulah yang dirasakan oleh pemazmur dalam Mazmur 42. Ia bukan orang yang jauh dari Tuhan. Justru ia seseorang yang rindu akan hadirat-Nya. Tetapi ia juga manusia yang jujur — jujur pada kelelahan, jujur pada kesedihan, jujur pada rasa hampa.

“Jiwaku tertekan dalam diriku…” (Mazmur 42:6)

 

Pemazmur tidak menyangkal kenyataan batin itu. Ia tidak berusaha menyembunyikannya di balik bahasa rohani.
Ia mengakui: “Aku sedang lelah, aku sedang gelisah, aku sedang kosong.”
Dan di sanalah awal dari penyembuhan sejati dimulai — ketika kita berhenti berpura-pura kuat.

 

Suara Jiwa yang Terluka

Mazmur ini ditulis dalam konteks kerinduan yang dalam akan hadirat Allah. Pemazmur jauh dari Bait Suci, jauh dari ibadah, dan mungkin jauh dari komunitas rohani. Ia merasa terputus, ditinggalkan, dan kehilangan makna.
Ia menulis:

“Air mataku menjadi makananku siang dan malam…” (ayat 4)

 

Ini bukan sekadar bahasa puitis. Ini adalah gambaran nyata dari seseorang yang mengalami distress emosional.
Secara modern, kita bisa menyebutnya sebagai gejala depresi atau kelelahan mental.
Ia menangis terus, kehilangan selera makan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran, dan ia mempertanyakan keberadaan Allah.

 

“Di manakah Allahmu?” tanya orang-orang kepadanya. (ayat 4b)
Pertanyaan itu menyakitkan — karena di saat kita lemah, dunia sering kali tidak memberi empati, melainkan penilaian bahkan penghakiman.

 

Mazmur 42 menunjukkan bahwa iman yang sejati bukanlah iman yang menolak kesedihan, melainkan iman yang bertahan di tengah kesedihan itu.
Pemazmur berbicara kepada dirinya sendiri:

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Berharaplah kepada Allah!”

 

Ia berbicara kepada jiwanya seperti seorang sahabat berbicara kepada sahabat yang terluka.
Ia tidak menolak rasa sedih itu, tetapi juga tidak membiarkannya berkuasa. Ia menuntun jiwanya untuk kembali menatap Tuhan.

 

Allah di Tengah Kelelahan

Secara teologis, Mazmur ini mengajarkan hal penting: Tuhan tidak jauh ketika jiwa kita lelah.
Kehadiran Allah bukan hanya untuk mereka yang kuat, bersukacita, dan bersemangat. Ia juga ada di ruang paling sunyi tempat air mata tertumpah.

Dalam ayat 9 pemazmur berkata:

“TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada waktu siang, dan pada malam hari nyanyian-Nya menyertai aku.”

 

Artinya, di balik perasaan kosong itu, ada kasih yang tetap bekerja — bahkan ketika kita tidak merasakannya.
Kasih setia Allah (hesed) dalam bahasa Ibrani berarti kasih yang tidak tergantung pada perasaan manusia. Ia tetap setia, meski kita sedang kehilangan arah.

Inilah inti pengharapan iman: bahwa Allah tetap hadir meski perasaan kita tidak bisa merasakannya.
Bagi banyak orang yang berjuang dengan kesehatan mental, inilah kebenaran yang menenangkan:
Tuhan tidak menilaimu dari seberapa kuat imanmu tampak di luar, tetapi dari kejujuran hatimu di hadapan-Nya.

Yesus sendiri pernah mengalami kelelahan dan kesedihan mendalam.
Di taman Getsemani Ia berkata,

“Jiwaku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” (Matius 26:38)

 

Yesus tahu rasanya menanggung tekanan batin, ketakutan, dan rasa ditinggalkan. Karena itu, Ia mengerti setiap air mata kita.
Ibrani 4:15 berkata,

“Sebab Imam Besar kita bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita…”

 

Artinya, iman Kristen bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan relasi dengan Allah yang turut merasakan penderitaan kita.
Inilah yang membedakan iman sejati dari sekadar optimisme. Optimisme berkata, “Semua akan baik-baik saja.”
Tapi iman berkata, “Tuhan tetap baik, sekalipun semua belum baik.”

 

Aplikasi Reflektif – Langkah-Langkah Menemukan Ketenangan Jiwa

1. Berhentilah Menolak Perasaanmu
Janganlah buru-buru menutupi kesedihan dengan aktivitas rohani atau sibuk menolong orang lain agar terlihat kuat.
Pemulihan dimulai dari keberanian untuk berkata, “Tuhan, aku lelah.”
Doa yang jujur lebih berharga daripada kesalehan yang berpura-pura.

2. Ingatlah Kasih Setia Tuhan di Masa Lalu
Pemazmur berkata, “Aku akan bersyukur lagi kepada-Nya.” Ia mengingat masa-masa ketika ia merasakan sukacita dalam ibadah.
Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai reframing spiritual — mengingat pengalaman kasih Tuhan di masa lalu untuk memberi kekuatan di masa kini.
Tulis pengalaman-pengalaman kecil di mana Tuhan menolongmu. Saat lelah, bacalah kembali — itu bisa menyalakan nyala iman yang hampir padam.

3. Temukanlah Komunitas yang Aman
Banyak orang dengan luka batin merasa sendirian. Padahal, pemulihan sering terjadi di tengah komunitas yang penuh kasih.
Gereja atau kelompok kecil bisa menjadi tempat berbagi beban.
Tidak semua orang akan mengerti, tapi Tuhan bisa memakai seseorang untuk menjadi saluran kasih dan pendampingan bagi jiwamu.

4. Jagalah Ritme Hidup dan Tubuhmu
Tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan.
Tidur cukup, makan teratur, berjalan di alam, atau sekadar duduk diam mendengarkan musik rohani bisa menjadi bagian dari penyembuhan.
Tuhan menciptakan tubuhmu bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dihargai. Istirahat adalah bentuk ibadah.

5. Percayalah Bahwa Tuhan Masih Bekerja
Sekalipun kamu tidak merasakan hadirat-Nya, bukan berarti Ia tidak bekerja.
Seperti akar pohon yang tumbuh di bawah tanah tanpa terlihat, demikian juga kasih Allah bekerja dalam keheningan jiwamu.

 

Tuhan Masih di Sana

Sahabat, mungkin hari ini hatimu terlalu lelah untuk berharap.
Mungkin kamu sudah berdoa berkali-kali, tapi rasanya Tuhan tidak menjawab.
Kamu mungkin bertanya, “Apakah aku ini masih cukup beriman?”

Izinkan aku berkata: ya, kamu masih beriman — karena kamu masih mencari Tuhan di tengah rasa lelahmu.
Iman sejati bukan berarti tidak pernah goyah, tetapi tetap mencari Tuhan meski air mata menutupi pandangan.

Tuhan tidak menunggu kamu kuat untuk hadir.
Ia datang justru ketika kamu berhenti berpura-pura kuat.
Dia tidak menuntut senyum palsu, Dia hanya menunggu kejujuran.

Mazmur 42 berakhir bukan dengan jawaban, tetapi dengan keputusan:

“Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya.”

 

Itulah iman yang matang — bukan iman tanpa pertanyaan, tetapi iman yang tetap bertahan di tengah pertanyaan.

Karena kasih Allah tidak pernah kehabisan tenaga, bahkan ketika hati kita terlalu lelah untuk berdoa.
Dan ketika engkau tidak lagi mampu berdoa, biarlah kehadiran Tuhan sendiri menjadi doa yang bernafas dalam dirimu.

“Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku.” (*)

Leave a Reply