Pengacara Korban Lion Air Desak Boeing Segera Lunasi Klaim

JAKARTA, LASPELA – Pengacara korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 mendesak The Boeing Company, produsen pesawat Boeing 737 Max 8 yang jatuh pada pada Oktober 2018 segera melunasi klaim yang diajukan para korban. Menurut para pengacara, tidak ada alasan lagi bagi produsen pesawat terbang Amerika Serikat tersebut untuk tidak membayarkan klaim tersebuy.

Brian Kabateck, pengacara terkemuka Amerika Serikat dan salah satu pengacara pertama yang mengajukan tuntutan menyatakan, sudah saatnya Boeing melangkah lebih jauh dari sekadar berbicara dan permintaan maaf.

“Boeing perlu segera menyelesaikan klaim terhadap mereka, oleh keluarga yang terluka yang tidak dapat diperbaiki dan orang-orang terkasih yang kehilangan ibu, ayah, putri mereka dengan cara yang paling mengerikan. Boeing harus bekerja dengan semua yang terlibat untuk menyelesaikan masalah ini sekarang,” kata Kabateck melalui keterangan resmi, Jumat (5/4).

Pernyataan Kabateck menanggapi surat Chief Executive Boeing, Dennis Muilenburg yang berisi pernyataan dan belasungkawa pada hari Kamis (4/4) waktu setempat untuk 346 orang yang meninggal dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia. Boeing untuk pertama kalinya mengakui peran sistem anti-stall pada Boeing 737 MAX 8 dalam dua tragedi jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines dan Lion Air.

Muilenburg menyampaikan pengakuan ini menanggapi laporan awal tragedi Ethiopian Airlines yang dirilis otoritas Ethiopia. Dalam laporan itu, para penyidik Ethiopia mendapati bahwa sebuah sensor yang mengalami malfungsi dalam penerbangan Ethiopian Airlines bulan lalu, telah mengirimkan data tidak benar kepada sistem kontrol penerbangan pada pesawat jenis 737 MAX 8 itu.

Sanjiv Singh, penasihat utama Kabateck dalam kasus gugatan korban Lion Air terhadap Boeing di AS menegaskan, perkembangan ini belum pernah terjadi sebelumnya dan membuat sejarah dalam litigasi bencana penerbangan. Menurut dia, CEO Boeing telah mengakui tanggung jawabnya sebelum kesimpulan investigasi pemerintah. Oleh karenanya, keluarga di Indonesia dan Ethiopia harus diberi kompensasi sekarang oleh Boeing dan perusahaan itu harus bertanggung jawab.

Denny Kailimang, pendiri Kantor Advokat Kailimang & Ponto yang menjadi mitra Kabateck di Indonesia, berharap permintaan maaf dan pernyataan pertanggungjawaban Boeing dapat menjadi langkah lanjutan untuk membuka lebih jelas latar belakang terjadinya kecelakaan dan mencegah kejadian serupa terjadi di masa yang akan datang.

“Pernyataan CEO Boeing juga memperkuat hak-hak keluarga korban untuk memperoleh ganti kerugian yang pantas dari produsen pesawat,” kata Denny.

Di Amerika Serikat, kolaborasi tim hukum para penggugat terdiri Brian S. Kabateck, Christopher Noyes, Shant Karnikian dan Brian Hong dari Kabateck LLP dengan kantor advokat asal Amerika lainnya, yaitu Steven Hart dan John Marrese dari firma asal Chicago, Hart, McLaughlin & Eldridge serta Sanjiv Singh dari firma hukum asal San Mateo, CA, SNS PLC.

Para advokat yang mewakili para keluarga korban tragedi Lion Air menggugat Boeing atas kelalaian yang mengakibatkan kematian (wrongful death). Gugatan ini diajukan di Cook County, negara bagian Illinois, Amerika Serikat lokasi kantor pusat produsen pesawat terbang tersebut.

Gugatan diajukan setelah 189 orang meninggal dalam kecelakaan yang membuat pesawat terjun bebas akibat kesalahan sistem anti-stall dan maneuvering characteristics augmentation system (MCAS), serta kelemahan petunjuk penerbangan dan prosedur operasional Boeing. Saat ini, Pesawat 737 MAX 8, generasi terbaru dari jajaran pesawat seri 737 buatan Boeing tengah dilarang terbang.

Ganti rugi

Kantor Advokat Kailimang & Ponto saat ini juga mendampingi sejumlah keluarga korban untuk mendapatkan pembayaran ganti rugi dari maskapai sesuai dengan undang-undang penerbangan yang berlaku di Indonesia. “Untuk menerima ganti rugi ini tidak boleh dipersulit oleh pihak maskapai,” kata Harry Ponto.

Harry merujuk pada Pasal 3 poin a Peraturan Menteri Perhubungan nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Ketentuan ini, lanjutnya, menyebutkan penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Kondisi ini dipertegas oleh Pasal 23 yang menyatakan pemberian ganti rugi tidak menutup kesempatan penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga menuntut ke pengadilan, tandas Harry.(Ril/*)