KETUA umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M.Romahurmuziy, mengingatkan partai politik berbasis agama harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, karena kalau tidak perolehan suaranya akan tergerus disebabkan ada tren migrasi ideologis dari pemilih religius ke partai berbasis nasionalis.
“Tetapi belum pernah ada dalam sejarah republik ini penyeberangan pemilih dari pemilih nasionalis ke pemilih religius,” kata Romy, sapaan karib Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya dilansir LASPELA dari Antara, Jumat (20/10/2017).
Romy mengatakan dalam Pemilu 2014, sejumlah partai politik nasionalis menang di daerah yang dulunya adalah basis parpol religius misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.
Menurut dia, dahulu di ketiga daerah itu dalam setiap pemilu selalu dimenangkan oleh partai religius namun belakangan ini dimenangkan oleh parpol nasionalis. “Hal itu menunjukkan bahwa ‘swing voters’ yang pandangannya berubah dan berganti, ternyata bermigrasi dari relijius ke nasionalis. Bahkan, refleksi angkanya tertangkap di tingkat nasional,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR RI itu menjelaskan, pada Pemilu 1955 yang dianggap paling ideologis dalam sejarah Indonesia, jumlah pemilih religius adalah 43 persen, terdiri atas Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) namun saat ini pemilih religius hanya berjumlah 31 persen.
Menurutnya, angka 31 persen itu pun terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang.
“Saat ini, perolehan suara partai nasionalis hampir mencapai 70 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada cara komunikasi yang kurang beradaptasi dengan perubahan jaman dan perilaku pemilih,” katanya.
Sebaliknya menurut dia, partai relijius gagal menahan pemilihnya dan akhirnya bermigrasi ke partai nasionalis sehingga dengan komposisi tersebut, perebutan para pemilih dalam Pemilu 2019 diprediksi masih berlangsung diantara partai religius.
Karena itu dia menilai parpol berbasis religius akan saling berebut pemilih dan itu menjadi persoalan besar bagi PPP yang harus berebut jumlah yang sedikit.
Editor: Stefan H. Lopis