Opini  

Menakar Kans untuk Menang di Pilwako Pangkalpinang

Avatar photo

TAK lama lagi, tinggal menghitung hari, momentum Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pangkalpinang (Pilwako) 2025 bakal digelar. Pesta demokrasi di Pangkalpinang menjadi satu dari sekian banyak pesta demokrasi lokal di tanah air yang banyak betul menarik perhatian publik luas pasca drama kemenangan ‘kotak kosong’ pada Pilwako akhir tahun lalu. Drama politik tersebut menggambarkan pada satu sisi betapa krisis legitimasi dan lemahnya supremasi partai politik yang mulai kehilangan kepercayaan masyarakat pemilih, sementara di sisi lain juga menandainya adanya ancaman partisipasi warga kota yang rendah dalam hajatan demokrasi elektoral yang notabene telah menguras anggaran puluhan milyar rupiah. Setidaknya ada beberapa hal menarik dan menyita perhatian publik terkait diskursus politik Pilwako di Kota Pangkalpinang.

Pertama, pertarungan politik merebut kursi Gedung Tudung Saji tentunya menjadi ujian sekaligus momentum penting untuk mengukur derajat demokrasi lokal kita, khususnya di Kota Pangkalpinang sebagai episentrum penting ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di sini para kandidat bersama timses dan parpol pendukung tidak hanya berlomba berebut suara pemilih, tetapi juga membuktikan seberapa berpengaruh dan relevannya strategi dan gerakan politik mereka di mata publik kota yang semakin skeptis. Ada problem kejenuhan politik publik kota yang tidak bisa dianggap remeh-temeh karena selalu mengemuka nyaris dalam setiap momentum politik elektoral. Fenomena kemenangan ‘kotak kosong’ pada Pilwako sebelumnya setidaknya bisa menggambarkan betapa publik Kota Pangkalpinang yang selama ini kerap dianggap sebagai pemilih rasional, ternyata begitu rentan mengalami kejenuhan politik atau istilah lokalnya ‘langok bantut’ ketika menyaksikan hiruk-pikuk kampanye atau kekuasaan politik berkota yang justru tidak berkorelasi banyak dengan perbaikan nasib sosial-ekonomi mereka dan lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Jangan sampai euforia partisipasi publik kota dalam Pilwako ulang tahun 2025 nanti hanya jadi arena terbatas miliknya para timses, elit parpol, para buzzer-influencer, dan para saksi atau pengawas TPS dari para kandidat. Sementara, nyaris tidak ada alasan yang kuat bagi mereka yang di pasar dan tempat kerja yang jauh dari kampung atau TPS untuk ikut serta secara tulus mencoblos di TPS.

Kedua, di tengah upaya masing-masing kandidat bersama parpol dan timses pendukung mengatur strategi politik dan berkonsolidasi untuk meraih simpati publik, mulai terlihat misalnya siasat dan cara-cara berkampanye yang beragam, ada yang sibuk memasang baliho di setiap sudut kota, ada yang promosi door to door, rajin bagi-bagi bunga ke warga disertai kartu promosi sang kandidat, konsolidasi dialogis warung kopi, termasuk ada tim yang mulai sibuk memproduksi konten naratif dan berita promosi virtual melalui media sosial, dan kemudian memperbincangkannya di berbagai grup WA. Bahkan, kabarnya sudah mulai bergerilya tim siber yang tugasnya melakukan publisitas isu-isu dan kasus yang menjatuhkan reputasi atau membuka jejak buruk kiprah sang calon lain, sementara sembari membangun citra positif sang kandidat yang didukung. Ini juga bagian dari ‘politik bising’ yang tujuannya bisa menarik perhatian publik atau setidaknya agar jadi bahan perbincangan publik kota. Oleh karena itu, maka perlu diingat di tengah gegap gempita mobilitas kampanye tersebut, perlu diperhatikan betul agar model berkampanyenya benar-benar mampu memikat minat sekaligus mengedukasi warga kota betapa pentingnya partisipasi mereka setidaknya untuk meminimalisir terpilihnya calon-calon pemimpin kota bermasalah dan berkualitas buruk. Di sini, tentu perlu ada kesadaran politik warga yang kuat untuk menyaksikan sekaligus mengawal setiap visi-misi, rekam jejak, dan janji politik para kandidat apakah realistis, masuk akal, dan betul-betul memiliki keberpihakan yang kuat untuk perbaikan nasib warga kota atau malah justru sebaliknya?
Yang terpenting sebenarnya bagaimana kepiawaian para timses meramu berbagai isu-isu krusial yang benar-benar merepresentasi harapan dan masalah yang dihadapi warga kota dalam beberapa tahun terakhir, khususnya yang berkaitan erat dengan realitas sosial warga sehari-hari yang kompleks.

Baca Juga  Pasangan Udin–Dessy Komitmen Naikan Insentif Guru Ngaji Kota Pangkalpinang, Bukti Kepedulian untuk Guru Ngaji

Ketiga, secara kandidasi, sebagian besar para kontestan Pilwako merupakan elit-elit lama dalam percaturan politik lokal Kota Pangkalpinang. Yang berbeda karena munculnya kandidat independent dan munculnya sosok baru yang hendak menandingi dominasi pemain-pemain lama dalam poiltik elektoral di Pangkalpinang. Pun demikian, keempat kandidat sama-sama memiliki kans yang sama untuk memenangkan kontestasi berebut kursi walikota di Gedung Tudung Saji Kota Pangkalpinang. Pilwako sebelumnya sedikit banyak semakin menyadarkan para calon sekaligus para elit partai pendukung bahwa strategi beradu baliho, retorika visi-misi yang hambar, serta strategi politik konvensional belum cukup memadai untuk menjawab skeptisme publik dan meraup suara mayoritas pemilih. Molen yang sebelumnya tumbang pada babak Pilwako akhir tahun lalu mulai menyadari betapa sulitnya menjadi pemain kunci dalam struktur politik elit kota. Ada perubahan fundamental dalam gaya berkampanyenya, bernarasinya, termasuk pendekatan politiknya.
Sementara, ketiga pasangan calon penantang petahana sebelumnya sama-sama berupaya menawarkan kebaruan dalam tata kelola politik perkotaan. Misalnya, pasangan Udin-Dessy hingga saat ini berupaya membangun narasi kebaruan dan kemajuan berkota, sembari memanfaatkan jejaring politik dirinya sebagai anggota legislatif, sekaligus jejaring popularitas sang suami; Irwansyah yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Walikota Pangkalpinang (2013-2018). Sementara itu, Eka Mulya-Ratmida Dawam dari jalur independen, serta Basit Cinda- Dede Purnama sebagai kandidat dari koalisi lintas partai juga menjanjikan konteks harapan kebaruan, sembari terus bekerja keras untuk melampaui popularitas pasangan Molen-Zeki dan Udin-Dessy yang duluan lebih populer dalam hasil survei terakhir. Walaupun, konteks popularitas belum tentu berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan seorang kandidat dalam kontestasi elektoral.

Baca Juga  Pasangan Udin–Dessy Komitmen Naikan Insentif Guru Ngaji Kota Pangkalpinang, Bukti Kepedulian untuk Guru Ngaji

Kini semua tergantung dari seberapa besar militansi dan kecanggihan timses bekerja keras dan cerdas memobilisasi berbagai sumber daya politik yang dimilikinya, termasuk memaksimalkan mesin partai demi menyakinkan publik pemilih melalui ragam strategi dan konsolidasi dialogis dengan berbagai pihak dan lapis kewargaan di Kota Pangkalpinang. Selain itu, tentu masih banyak kemungkinan terjadi menjelang hari penentuan di bilik suara, bisa jadi akan ada kejutan-kejutan yang muncul dari masing-masing kandidat yang memiliki keunggulan dan kelebihan masing-masing. Yang pasti masing-masing calon tidak perlu terlalu jumawa dan percaya diri berlebihan. Perlu diingat bahwa tidak menutup kemungkinan adanya gerakan politik diam-diam yang hendak memanfaatkan betul situasi politik menjelang hari H di bilik suara, akan ada kejutan dari masing-masing timses untuk mengdongkrak popularitas dan elektabilitasnya. (*)

 

 

Leave a Reply