Begitu banyak peristiwa dan kejadian negatif mengusik penghuni bumi; musibah, ujian, cobaan, fitnah dan bencana.
Lebih spesifik yang terjadi di menjelang akhir tahun 2025, bencana berupa banjir bandang, tanah longsor dan luapan gunung merapi melanda negeri ini.
Akhirnya kita pun bertanya dan mempertanyakan, ada apa, dan apa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi di tengah kita?
Di luar dugaan dan di luar kuasa manusia, bencana itu bertubi-tubi menimpa manusia; meluluhlantahkan ratusan bahkan ribuan rumah, jalan raya dan infra-struktur seperti bangunan pertokoan, pasar, bangunan sekolah, jembatan serta lainnya, dan kemudian mematikan ratusan manusia dan juga hewan di Pulau Sumatera; Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Beberapa pekan sebelumnya bencana berupa tanah longsor dan angin puting beliung menimpa sebagian wilayah lain di negeri ini.
Teringat kita akan petikan bait lagu Ebiet G.Ade, bahwa hal itu semua terjadi karena kelengahan, kelalaian, keangkuhan, sikap represif, eksploitatif dan intimidatif bahkan perbuatan dosa lainnya oleh manusia.
Terkait itu, Allah tegaskan dalam QS.Ar-Rum (30): 41)–Artinya:”Telah tampak kerusakan di daratan dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Sikap diam masyarakat setempat dan mungkin sengaja didiamkan oleh pihak tertentu yang berkepentingan dianggap remeh dan begitu lama berlangsung.
Selain itu, alam sebagai makhluk hidup mungkin sudah bosan dizhalimi, lalu bersikap–bersujud sesuai kapasitasnya mengadu kepada Sang Pencipta, Allah Swt., bencana benar-benar terjadi.
Hampir-hampir mustahil dan sangat tidak logis, menurut orang-orang tertentu yang terlalu andalkan rasionalitasnya.
Mengkin mereka tidak terima. Sebenarnya, bukan tidak logis, tapi supra-logis pastinya. Kekuatan itu berada diatas rasionalitas dan ketidakberdayaan diri manusia.
Sebatas ribuan gelondongan kayu pasca penebangan yang hanyut tidak juga berdampak bencana sebesar yang terjadi, tapi pasti ada yang lain menyertai.
Jangan kira bencana tersebut kecil karena luas pulau Sumatera adalah 3,5 kali Pulau Jawa. Belum lagi ketidaktahuan kita mungkin akan ribuan pulau kecil disekelilingnya.
Sulitnya proses evakuasi korban bencana dan juga sulitnya pengiriman bahan-bahan pokok dan kebutuhan lain mengindikasikan hal tersebut–sangat dahsyat. Allahu Akbar, maa siwa Allah, Asghar” ( Allah Maha Besar, segala sesuatu selain-Nya adalah kecil).
Menyadari Keterbatasan Diri.
Manusia adalah makhluk berdimensi terbatas, lemah dan sangat tidak berdaya bila dihadapkan pada otoritas kekuasaan Allah, Al-Khaaligul-Ma’buud. Namun kenyataannya, manusia berbuat terbalik, tidak sesuai harapan.
Semestinya mereka bersyukur atas takdir Allah yang memposiskannya diatas biosfir bumi dengan segala kelengkapan sumber alam didalamnya sebagai pijakan sehingga manusia mampu bertahan hidup dan langsungkan peradaban.
Dalam QS.Al-A’raaf(7):10–Artinya:”Sungguh Kami benar-benar telah menempatkan kamu sekalian di bumi, dan Kami sediakan disana (bumi) penghidupan untuk mu, akan tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”).
Sinergitas Tuhan, Alam dan Manusia.
Meminjam pendapat Fazlurrahman tentang keseluruhan aspek melekat pada Tuhan, disebut teologis; terkait alam, disebut kosmologis; dan terkait manusia, disebut antropologis, maka manusia harus posisikan dirinya sebagai mahkluk yang diciptakan.
Secara kosmologis, manusia adalah mikro-kosmos, yaitu berasal dari salah satu unsur; tanah, air, api dan udara sebagai bagian dari alam besar (kosmos) tergantung filosofi keagamaan tertentu.
Kalbu dan akal yang kemudian jadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari makhluk-makhluk lain sekalipun malaikat. Maka dari itu, manusia harus menjaga sinergitas hubungan tersebut dan berikutnya langsungkan peradaban di muka bumi selain ketundukan personalnya kepada Tuhan, Allah Swt. dalam rutinitas ibadah harian. Emanasi Nur Ilahi hanya tertuju kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Lebih spesifik teruntuk manusia dalam bersikap, Alah tegaskan dalam QS.Lukman(21):18-19),artinya: “(18).Dan jangan memalingkan wajahmy dari manusia karena sombong, dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri. (19) Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”. Apalagi sikap kasar kepada sesama makhluk hidup, maka hal tersebut sangat tidak dibenarkan dalam agama.
Selanjutnya satu konsesi diberikan kepada manusia sebagai Khalifah adalah “ihtifaazh”, memelihara lingkungan hidup selain menyadari kesamaan diri sebagai sesama makhluk hidup.
Yang diharapkan adalah soft approach, bukan “hard approach”. Manusialah yang diberi otoritas kuat untuk melakukan dan menjaga keberlangsungan kehidupan di muka bumi.
Kesadaran Eko-Teologis.
Bila para pakar umumnya menawarkan konsep atau teori tertentu sebagai pijakan langkah strategis atasi bencana yang menimpa, maka agama menyentuh titik kesadaran (mode-spiritual) manusia agar kembali kepada Tuhan, Allah Swt. sebagai Dzat yang menciptakan semua makhluk hidup.
Dan adapun bencana terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang berada di bumi. Sepertinya sebagian manusia bersikap sangat zhalim terhadap alam termasuk sesama manusia. Agama sesuai dengan makna dasarnya, tidak menginginkan kerusakan di muka bumi apapun bentuknya, juga tidak boleh ada kekerasan oleh manusia apapun alasannya.
Dalam perspektif filsafat, semua yang maujud diciptakan ( Cretio-exnihilo) dan pada akhirnya ruh makhluk hidup tersebut dikembalikan ke alam azali, alam awal penciptaan.
Kehidupan di bumi bersifat sementara, maka ukirlah kehidupan dengan kebaikan sehingga menjadi sejarah yang baik bagi kemanusiaan.
Semangatnya adalah terwujudnya sinergitas Tuhan, alam dan manusia. Manusia berikhtiar, adapun takdir di tangan Tuhan, Allah Swt. Kesadaran dimaksud adalah kesadaran eko-teologis. Wassalam. (*)







Leave a Reply