Sejarah Cual (1) > Selendang dari Sutera

Setelah ditandatanganinya Traktat London dan Belanda berkuasa kembali atas pulau Bangka dan setelah masa usainya perlawanan rakyat Bangka melawan kolonial Belanda yang dipimpin Depati Amir tahun 1851 Masehi, pulau Bangka menjadi satu koloni Belanda yang regelmatig dari seluruh koloni Belanda di Hindia Belanda.

Pada tahun 1865 Masehi pemerintah Hindia Belanda menjadikan pulau Bangka atas 10 distrik yaitu distrik Muntok, Jebus, Sungailiat, Merawang, Belinyu, Pangkalpinang, Kepulauan Lepar, Sungaiselan, Toboali, dan Koba. Masing-masing distrik di pulau Bangka masa ini dikepalai seorang administrateur district (berkebangsaan Belanda), dibantu oleh seorang demang (kepala distrik diangkat dari pribumi) dan di bawahnya beberapa orang kepala onderdistrict yang bergelar batin yang kemudian membawahkan beberapa kepala kampung (gegading) dan kepala dusun (lengan).

Pada suasana aman tidak ada peperangan, gejolak politik dan ekonomi, Kota Muntok sebagai tempat kedudukan Residen Bangka sangat terkenal karena berbagai kemajuannya. Perempuan-perempuan dalam Kota Muntok terutama yang tinggal di di rumah panggung di kampung-kampung seperti Kampung Pemuhun dan Kampung Patemun (sekarang Teluk Rubiah) pada masa itu pekerjaannya bertenun, membuat kain dan selendang dari sutra dan ada juga yang dicampur dengan benang emas terutama untuk pakaian orang-orang perempuan.

Kain tenun Muntok itu disebut dengan nama kain Cual. Kain ini kemudian diperdagangkan orang ke negeri lain seperti ke Palembang, pulau Belitung, Pontianak, pada bagian lain tanah melayu, Singapura dan Eropa. Harga selembar kain tenun Cual pada waktu itu berbentuk selendang berkisar paling murah f 25,- sampai f 100,-.

<<Sebelumnya          Selanjutnya>>

(Sumber dikutip dari buku Memarung, Panggung, Bubung, Kampung dan Nganggung, Akhmad Elvian, Tahun 2015)