Opini  

Mengembalikan Marwah Nahdlatul Ulama

Oleh: Rusydi Sulaiman, Guru Besar dalam Kepakaran Bidang Pengkajian Islam (Islamic Studies) IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung & Direktur Madania Center

Avatar photo
Rusydi Sulaiman

Teringat saat sedang studi di sebuah perguruan tinggi pesantren tiga dekade lebih lalu, penulis sempat mengkritisi dalam sebuah diskusi kecil tentang kelembagaan NU (Nadhlatul Ulama); mengapa pimpinan tertinggi Tanfidziyah, disebut,”Ketua Umum”–Bahasa Indonesia, dan pimpinan tertinggi  Syuriyah-nya, disebut,”Rais ‘Aam”–Bahasa Arab?.

Bukankah maksudnya sama? Mungkin ada makna tersirat tertentu, dan hanya kelompok khawashul-Khawash yang memahaminya.

Senyum sinis satu-dua teman diskusi saat itu, salah satu berucap: “bukankah kita tidak boleh mengkritisi hal itu? Ikuti saja,”sam’an wa thaa’atan” (dengar dan ikuti), tegasnya.

Maksudnya terlalu jauh untuk dipersoalkan oleh kita yang baru mengawali kuliah. Namun terbersit dalam benak penulis;  yang pertama (ketua) lebih duniawi (Maadiyah Dunyaawiyah) dan adapun yang  kedua (Rais), lebih ukhrawi, spiritual keakhiratan (ruuhiyah ukhraawiyah)?.

Kembali ke sejarah masa lalu, bahwa NU (Nahdlatul Ulama) lahir belakangan, 1926, satu dekade lebih pasca Muhammadiyah. Organisasi  tersebut mengambil garis berbeda–menyentuh masyarakat kelas bawah (tradisional). Hal itu agak berbeda dengan Muhammadiyah yang menyentuh masyarakat kota (kelas menengah yang lebih modern).

Maka ketika NU disebut organisasi keagamaan tradisional, ia banyak menyentuh masyarakat kebanyakan (grass root community). Gus Dur (KH.Abdurrahman Wahid ) menyebut bahwa langkah dakwah yang mesti dilakukan adalah pribumisasi Islam Nusantara.

Adanya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah serta  beberapa organisasi keagamaan lainnya kala itu (awal abad 20 Masehi) memberi warna keagamaan baru,  mengindikasikan dinamika pembaharuan Islam versus kolonial, berikutnya Orde Lama dan Orde Baru.

Beberapa organisasi tersebut menyikapinya secara beragam–frontal, akomodatif dan atau mengkooptasikan diri. Sebutan kata,”Jam’iyyah” untuk organisasi keagamaan seperti NU mencirikannya sebagai organisasi yang lebih dekat dengan masyarakat kebanyakan, bukan gerakan dan atau organisasi formal yang menyentuh masyarakat tertentu.

Seiring tuntutan zaman dan kompleksitas masalah yang dihadapi sejak pembentukan nya, NU memiliki  prinsip sebagai bentuk ketegasan sikap lembaga, yaitu: “Al-Muhaafazhah ‘alal-Qadiimish-Shaalih, wal-Akhdzu bil-Jadiidil-Ashlah” (memelihara atau menjaga nilai-nilai lama yang baik, dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik).

Agak dilema memang berikutnya ketika warga Nahdliyyin lemah di penguasaan sumber-sumber klasik ( turaats) bersandarkan sumber utama Agama Islam yang menjadi rujukan selama ini, sementara sikap antusias ke hal-hal kekinian yang cenderung pragmatis keduniaan terlalu tinggi. Dan akan menjadi problem juga bila sebaliknya terjadi.

Dua hal yang menyatu dalam kesatuan prinsip NU tersebut mestinya seimbang (balance), dan juga saling bersinergi satu sama lain; kelompok tua yang cenderung ke nilai-nilai lama diharapkan beradaptasi dan berusaha menyesuaikan diri. Sebaliknya, kelompok muda yang cenderung ke nilai-nilai baru tetap mengapresiasi yang lebih tua.

Bila boleh dikritisi, kenyataannya prinsip yang ditawarkan NU  tersebut tidaklah cukup kuat untuk mengatasi konflik terbuka di internal PBNU akhir-akhir ini–nampaknya terus saja berlanjut walaupun beberapa kali upaya ishlah di beberapa tempat, terakhir di Pondok Pesantren Lirboyo, sebuah lembaga  pendidikan tua di Kediri Jawa Timur dan menghadirkan para sesepuh NU sekalipun dalam rangka ishlah.

Mengapa dua kubu yang bersitegang tetap bersikeras dengan pendirian masing-masing? Kubu KH. Yahya Cholil Staquf ( Gus Yahya) merasa memiliki legitimasi formal struktural, maka keputusan pleno Syuriyah PBNU yang menetapkan KH.Zulfa Mustofa sebagai PJ.Ketua Umum tertolak.

Sebaliknya kubu KH.Miftachul Akhyar merasa memiliki legitimasi moral kultural dan bertahan dengan pendiriannya. Bila demikian, pastinya sulit kedua kubu tersebut disatukan.

Semestinya hal itu tidak boleh terjadi karena kedua kekuatan tersebut sebatas berbeda sikap dan pandangan  yang sedungguhnya menyatu dalam satu tubuh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) apalagi bila merujuk pada sebutan Jam’iyyah yang memberi kesan guyub dan mudah dikompromikan.

Jangan-jangan ada tendensi lain termasuk politik  sehingga kisruh berkepanjangan! Akan tetapi, inilah dinamika yang faktanya ada di depan mata sekaligus ujian bagi organisasi keagamaan  terbesar jumlah warganya di negeri ini.

Akhirnya sikap penulis mempertanyakan jauh sebelumnya tentang sebutan “ketua” untuk pimpinan tertinggi Tanfidziyah NU dan sebutan “Rais” untuk pimpinan tertinggi Syuriyah NU akhir terbukti, terlepas dari hal dimaksud perlu atau tidak perlu dipersoalkan. Sebaliknya sikap sinis teman  diskusi waktu itu akhirnya tertolak.

Mungkin ada benarnya sikap kritis tersebut. Jangan-jangan memang tidak bisa disatukan, diantaranya karena sudut pandang masing-masing berbeda; yang pertama fokus aspek-aspek materi keduniaan, dan yang kedua fokus pada aspek-aspek spiritual keakhiratan.

Masing-masing harus menyadari kelemahan dan senantiasa bermuhasabah. Sikap berlebihan kubu pertama (Gus Yahya) selama ini mungkin melukai perasaan kubu kedua (Kyai Miftachul Akhyar) karena dianggap telah bergeser dari ortodoksi awal NU sebagai organisasi keagamaan tradisional.

Sikap tersebut perlu diluruskan menurut kubu kedua. Atau sebaliknya, kubu pertama mungkin menganggap kubu kedua sangat lamban menyikapi perkembangan zaman yang terus berubah.

Menurut kubu pertama tersebut, PBNU mesti terbuka terhadap pengaruh luar yang menyentuh dan mesti terus berinovasi termasuk urusan ekonomi. Bila lamban, maka akan ketinggalan zaman.

Tanpa berpihak ke kubu manapun dan untuk tujuan keberlangsungan lembaga dalam berkhidmah di tengah masyarakat sebaiknya ber-ishlah. Selain itu juga mempertimbangkan NU (Nahdlatul Ulama) yang sangat kental nuansa kulturalnya selama ini. Apapun yang terjadi menerpa Jam’iyyah tersebut pasti teratasi.

Mengembalikan marwah Nahdlatul Ulama, maksudnya PBNU adalah langkah terbaik. Sekuat-kuatnya legitimasi formal  struktural mesti diimbangi dengan legitimasi moral kultural.

Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Kembalilah kepada orang-orang bijak–sesepuh atau masyaayikh NU (Nahdlatul Ulama) sebagai waratsatul-Anbiyaa’. Wassalam. (*)

Leave a Reply