Opini  

Golkar Babel di Persimpangan: Antara Jaringan Nasional dan Mesin Eksekutif

Oleh: Eddy Supriadi

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Eddy Supriadi

Menjelang Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang diisukan akan digelar pada Minggu, 9 November 2025, arus politik internal partai pohon beringin mulai menghangat.

Bisik-bisik di lapangan menyebut hanya ada dua nama kuat yang akan bertarung atau mungkin berdamai dalam gelanggang politik kuning ini: Bambang Patijaya (BPJ) dan Hidayat Arsani.

Keduanya bukan nama sembarangan. Keduanya adalah representasi dua poros kekuatan politik yang telah lama mewarnai perjalanan Golkar Babel poros legislatif nasional dan poros eksekutif-lokal.

Di sinilah, titik persimpangan partai beringin itu diuji antara menjaga kekuatan jaringan pusat, atau meneguhkan kendali dan mesin politik di daerah.

Dua Poros, Satu Partai

Bambang Patijaya dikenal sebagai figur teknokrat legislatif yang cemerlang.

Sebagai anggota DPR RI dan Ketua Komisi XII  DPR RI, berhasil mengukir prestasi yang tidak kecil: membawa kembali kursi Golkar ke Senayan dari Dapil Babel dan menjadikan Hidayat Arsani sebagai gubernur, memperkuat citra partai di kalangan profesional, dan menjaga ritme organisasi di DPD Golkar Babel dengan gaya kepemimpinan yang rasional, terbuka, dan berbasis program.

Ia juga menjadi salah satu putra terbaik Bangka Belitung yang kini berkiprah di tingkat nasional.

Sementara Hidayat Arsani, tokoh senior yang kini menjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, bukan hanya punya pengalaman panjang di Golkar pernah menjadi ketua DPD sebelumnya tetapi juga memiliki power base yang kuat di tingkat akar rumput.

Ia adalah sosok yang memahami anatomi sosial Babel, memiliki pengaruh birokratis dan moral, serta koneksi politik lintas kabupaten/kota.

Dalam konteks konsolidasi mesin partai menuju Pilkada dan Pileg mendatang, posisi seorang gubernur tentu memberi keuntungan strategis yang tidak bisa diabaikan.

Dengan demikian, peta politik Golkar Babel sesungguhnya bukan soal siapa yang lebih hebat, melainkan siapa yang lebih tepat ditempatkan di mana.

Sebab baik BPJ maupun Hidayat, keduanya adalah aset politik nasional bagi partai ini.

Trade Off Kepemimpinan Partai

Dalam perspektif teori organisasi politik, seperti dijelaskan oleh Panebianco dan Katz, kepemimpinan partai di daerah selalu berhadapan dengan dua fungsi utama fungsi linkage dan fungsi machinery.

Fungsi linkage adalah kemampuan menghubungkan kepentingan daerah ke pusat kekuasaan dimensi yang dikuasai BPJ melalui posisi dan jaringan di DPR serta DPP Golkar.

Fungsi machinery adalah kemampuan menggerakkan struktur partai dan basis kader di tingkat bawah dimensi yang kini dipegang kuat oleh Hidayat melalui pengaruhnya di birokrasi dan masyarakat lokal.

Golkar Babel membutuhkan keduanya.

Kelemahan masa lalu partai ini di beberapa provinsi lain adalah ketika terjadi pemisahan ekstrem antara elit nasional dan kader lokal yang satu sibuk dengan agenda pusat, yang lain kehilangan arah di akar rumput. Babel tidak boleh mengulang kesalahan itu.

Musda mendatang seharusnya menjadi ruang kompromi produktif, bukan arena saling meniadakan.

Kepemimpinan yang Menyatukan

Kepemimpinan politik adalah tentang merawat harmoni kekuasaan. Pemimpin sejati bukan yang memenangkan fraksi, tetapi yang menjaga kesatuan institusi.

Dalam konteks Golkar Babel, musda ini menjadi ujian kedewasaan politik.

Kemenangan sejati bukan diukur dari siapa yang duduk di kursi ketua, tetapi seberapa kuat partai ini mampu keluar dari musda dengan satu narasi: Golkar yang solid, modern, dan relevan dengan aspirasi masyarakat.

Bambang Patijaya dan Hidayat Arsani dua nama yang sama sama disegani harus membaca momentum ini secara reflektif.

Di atas kertas, keduanya bisa bersaing ketat. Namun dalam realitas politik yang kerap menuntut stabilitas dan efisiensi, kompromi strategis adalah pilihan rasional. Dalam politik, menang sendiri bisa berarti kalah bersama.

Etika Kekuasaan

Dari sisi yuridis, AD/ART Partai Golkar memberi ruang bagi mekanisme musda yang demokratis, terbuka, dan disahkan oleh DPP.

Namun pelaksanaannya harus berhati-hati. Bila tidak diatur dengan disiplin prosedural dari verifikasi peserta, tata cara pemilihan, hingga legitimasi hasil konflik internal dapat muncul dan melemahkan posisi partai di mata publik.

Selain itu, bila seorang pejabat publik seperti gubernur aktif memegang posisi partai, maka harus ada komitmen moral dan tata kelola yang menjaga netralitas birokrasi.

Artinya, jabatan politik tidak boleh mengintervensi fungsi pemerintahan. Kepemimpinan politik Golkar Babel ke depan harus berani menampilkan wajah yang etis dan profesional agar tetap dipercaya publik.

Politik Relasi, Bukan Polarisasi

Secara sosiologis, politik Babel adalah politik relasi bukan polarisasi. Relasi antara elite, pengusaha, birokrat, dan masyarakat sipil sangat cair.

Kemenangan politik ditentukan bukan hanya oleh popularitas, tetapi oleh jaringan kepercayaan yang dibangun.

Dalam konteks ini, baik BPJ maupun Hidayat Arsani sama-sama punya jejaring kepercayaan yang luas, meski di segmen yang berbeda.

Jika Musda berubah menjadi ajang pertarungan terbuka yang menajam, risiko fragmentasi di tingkat DPD II dan DPC bisa muncul.

Itu sebabnya, Golkar memerlukan model transisi kepemimpinan yang inklusif yang memberi ruang kepada dua kekuatan besar itu untuk berkolaborasi, bukan saling mengunci.

Rasionalitas DPP dan Arah Konsolidasi

DPP Golkar tentu punya kalkulasi tersendiri. Secara rasional, BPJ yang kini memegang posisi strategis di Komisi XII DPR RI layak ditempatkan dalam struktur DPP atau posisi penghubung nasional, guna memperkuat peran Golkar di level kebijakan dan pembangunan nasional.

Sementara Hidayat Arsani, dengan kapasitas dan otoritas sebagai gubernur, lebih ideal mengendalikan struktur DPD Golkar Babel, karena memiliki pengaruh langsung terhadap konsolidasi politik dan koordinasi dengan kader kabupaten/kota.

Jika formula ini diterima, maka Golkar Babel dapat menampilkan wajah kepemimpinan dua tingkat, BPJ di pusat sebagai representasi nasional, dan Hidayat di daerah sebagai penggerak mesin politik lokal.

Sebuah konfigurasi yang secara strategis sangat kuat menjelang kontestasi Pilkada 2029 dan Pileg 2030.

Politik Akal Sehat dan Jalan Tengah

Musda Golkar Babel tahun ini adalah momentum ujian kedewasaan politik. Dua figur kuat BPJ dan Hidayat adalah simbol dua kekuatan besar yang sama-sama dibutuhkan partai jaringan nasional dan mesin eksekutif.

Keduanya tidak perlu dikorbankan dalam logika zero sum game. Politik akal sehat menuntut kompromi struktural power sharing, bukan power fighting.

Jika Golkar mampu menempuh jalan tengah, maka partai ini tidak hanya akan solid, tapi juga kembali menjadi poros utama politik Babel, bahkan mampu merebut kemenangan di semua level kontestasi.

Musda bukan sekadar forum memilih ketua, melainkan momentum memilih arah sejarah apakah Golkar Babel akan terjebak pada rivalitas sempit, atau melangkah menuju kematangan baru di mana pohon beringin kembali tumbuh kokoh di tanahnya sendiri.(*)

Leave a Reply