PANGKALPINANG, LASPELA – Bukan sekadar agenda perayaan, Shangkek Timah Pengkal Festival hadir sebagai refleksi mendalam terhadap sejarah, identitas, dan arah kebudayaan Kota Pangkalpinang.
Rangkaian Shangkek Timah Pengkal Festival, yaitu Kentra Pengkal Festival digelar di Alun-alun Taman Merdeka pada Rabu malam (24/9/2025) ini menjadi momentum penting untuk membangkitkan kembali kesadaran kolektif masyarakat akan nilai-nilai lokal yang mulai terlupakan.
Kepala Bidang Kebudayaan Dindikbud Kota Pangkalpinang, Ratna Purnamasari, menjelaskan bahwa filosofi festival ini berakar dari istilah “shangkek”, alat tradisional yang dulu digunakan masyarakat Bangka untuk membawa barang.
“Shangkek sekarang nyaris tak dikenal lagi, padahal dulu sangat fungsional. Dari situlah kami mulai berpikir bahwa tradisi dan sejarah kita juga sedang mengalami nasib yang sama yaitu dilupakan. Maka festival ini adalah cara untuk ‘membawa kembali’ identitas kita,” ujar Ratna.
Nama lengkapnya, Sahangkek Pengkal Festival, adalah akronim yang lahir dari kajian antropologi tentang dua elemen penting di Bangka: perkebunan sahang (lada) dan pertambangan timah.
Keduanya bukan hanya fondasi ekonomi, tetapi juga membentuk wajah sosial dan budaya masyarakat Bangka Belitung sejak ratusan tahun silam.
“Kami ingin menyentuh sisi filosofis dan historis dari dua komoditas ini. Sahang mengajarkan ketekunan. Timah mengajarkan perjuangan. Dari sana muncul kesadaran untuk merawat apa yang dulu membesarkan daerah ini,” ungkapnya, Kamis (25/9/2025).
Festival ini tidak lahir tanpa konteks. Pangkalpinang sempat diguncang kasus besar di sektor pertambangan dengan kerugian mencapai Rp3 triliun.
Namun alih-alih larut dalam citra negatif, Shangkek Timah Pengkal Festival justru menjadikan momentum itu sebagai titik balik pemulihan memori kultural.
“Kami tidak ingin Pangkalpinang hanya dikenal dari sisi gelap pertambangan. Kita punya banyak warisan yang membanggakan, dan festival ini adalah bentuk perlawanan terhadap lupa,” tegas Ratna.
Salah satu filosofi penting yang diangkat adalah peran strategis Pangkalpinang dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Melalui lomba napak tilas sejarah, pelajar SMP diajak menelusuri jejak Bung Karno dan tokoh-tokoh republik yang pernah diasingkan di kota ini selama 197 hari.
“Kami ingin anak-anak muda tahu, bahwa Pangkalpinang adalah pangkal dari kemenangan. Di sinilah benih republik dijaga saat negara berada dalam masa sulit,” jelas Ratna.
Festival ini juga menjadi ruang pengukuhan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, yang telah vakum selama 13 tahun. Diiringi oleh Pesta Kampung Keroncong, festival menegaskan bahwa musik keroncong versi Pangkalpinang bukan sekadar tiruan, melainkan ekspresi cinta dan kebahagiaan lokal.
“Keroncong kita berbeda. Ia bukan dari Solo atau Jogja. Ia lahir di sini, dari getaran hati masyarakat Pangkalpinang sendiri,” kata Ratna.
Sementara itu, kegiatan Pengkal Heritage Bekecak menghidupkan kembali permainan tradisional untuk anak-anak, membuktikan bahwa budaya lokal tetap mampu bersaing dengan hiburan digital.
“Ternyata kalau kita beri alternatif yang menyenangkan, anak-anak bisa lepas dari gadget dan tertawa bersama budaya mereka sendiri,” ujarnya bangga.
Filosofi utama Shangkek Timah Pengkal Festival adalah membawa kembali—membawa nilai, sejarah, dan jati diri yang nyaris terlupakan.
Dengan menjadikan festival sebagai media kultural, masyarakat Pangkalpinang diajak untuk menyadari bahwa kebesaran suatu kota tidak hanya ditentukan oleh modernitas, tetapi oleh kemampuannya merawat akar dan memupuk identitas.
“Kalau bukan kita yang membawa sejarah kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?,” tutup Ratna. (dnd/ppl02)
Leave a Reply