SPSI Tolak Omnibus Law, BPJ: Poin Kurang Pas Usulkan untuk Dibahas

PANGKALPINANG, LASPELA – Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)  Bambang Patijaya, merespon keluhan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang menolak Undang Undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw.

Pria yang akrab disapa BPJ itu menegaskan, bahwasanya Undang-Undang Cipta Kerja dibuat salah satunya untuk menciptakan investasi.

Ia meminta, pekerja tidak menolak semua instrumen yang ada dalam undang-undang tersebut, karena tentu adanya tujuan baik dari UU Cipta Kerja.

“Karena Omnibus Law tujuannya bagaimana menciptakan investasi yang akhirnya merujuk pada ketersediaan lapangan pekerjaan, tetapi kepada hal-hal (poin) yang kurang pas saja yang kemudian diusulkan dan dibahas,” katanya usai sosialisasi undang-undang di Pia Hotel, Selasa (11/10/2022).

Saat inipun, tambah BPJ Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia memberikan waktu 2 tahun untuk melakukan pembahasan lagi terkait hal ini, untuk itu BPJ menuturkan masyarakat untuk memanfaatkan hal ini .

“Apa-apa yang menjadi kendala dapat dicarikan solusi, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan dalam cipta kerja,” ujarnya.

Ia mendorong, pekerja melalui serikat maupun  pemerintah daerah dapat mengusulkan poin-poin yang menjadi kendala atau persoalan yang dianggap kurang tepat menurut pekerja. Sehingga, dari usulan ini nantinya akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pihak terkait untuk melakukan perbaikan.

Dalam kesempatan ini, Ketua SPSI Babel, Darusman menuturkan banyak pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja yang harus dperhatikan dan tidak mencerminkan kesejahteraan para pekerja.

“Banyak pasal-pasal yang menjurus pada berkurangnya hak-hak para pekerja, dengan ini para pengusaha bebas merekrut atau memecat pekerjanya dengan cara apapun, bekerja dengan kontrak kalau sudah tidak suka lagi dia bisa memecat karyawannya dengan seenaknya,” bebernya.

Jika Omnibuslaw menjanjikan kesejahteraan, maka dia ingin tahu kesejahteraan seperti apa. “Jika mensejahterakan itu, dari satu menjadi dua, dari dua menjadi tiga dan seterusnya kalau makin kebawah itu namanya dikurangi,” ujarnya.

Pekerja, tegas Darusman butuh fakta dimana peningkatannya jangan hanya teori karena pekerja butuh real.

“Kami hanya inginya real, karena bekerja itu bukan bersifat kamuflase tapi real mereka bekerja dengan keringat mereka dengan kompetensi mereka, mereka ingin mendapatkan kepastian hukum juga dan status mereka bagaiaman saat mereka berhenti, atau mereka cuti apalagi pekerja wanita dia punya hak cuti, cuti melahirkan, tapi jangankan itu, sekarang saja  masih tidak terpenuhi haknya,” tuturnya.(dnd)