Sejarah Cual (3) > Menjaga Cual Jangan Punah

PRODUKSI tenun Cual di pulau Bangka sempat terhenti dalam waktu relatif lama karena terputusnya pasokan bahan baku pada saat terjadi Perang Dunia Pertama di Eropa tahun 1914 sampai 1918 Masehi. Harga sutra, benang emas dan lain-lain keperluan dalam menenun bukan saja tinggi harganya, tetapi hampir tidak ada yang menjual, baik di Kota Muntok maupun di Singapura.

Pemindahan ibukota keresidenan Bangka dari Kota Muntok ke Kota Pangkalpinang pada tangggal 3 September 1913 Masehi juga menjadi salah satu penyebab terhentinya produksi tenun Cual di Kota Muntok. Pada sekitar tahun 1990, Dinas Perindustrian Kota Pangkalpinang kembali menggalakkan kerajinan tenun Cual di pulau Bangka.

Kelompok usaha kerajinan Cual saat ini masih terbatas pada anggota keluarga, saat ini terdapat sekitar 40 pengrajin Cual yang tersebar di pulau Bangka dan pulau Belitung termasuk di Kota Pangkalpinang dengan produksi dan kapasitas produksi yang masih terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas maupun dari sisi harga yang masih bervariasi serta relatif mahal.

Di Kota Pangkalpinang sedikitnya terdapat 3 pengusaha Tenun Cual yaitu Koperasi Tenun Cual Maslina Yazid, Ishadi Cual dan Galery Destiany. Pada Tahun 2017 Ishadi Cual bahkan membangun satu museum yang bernama Museum Cual Ishadi.

Saat ini pengguna tenun Cual pun hingga ke luar pulau Bangka, bahkan telah diperjualbelikan keseluruh penjuru dunia dan pengguna tenun cualpun tidak lagi terbatas pada bangsawan saja.

Sebagai salah satu potensi kepariwisataan, tradisi kekriyaan berbasis pada kekayaan alam dan budaya merupakan potensi industri kreatif yang harus dikembangkan dan salah satu upaya pengembangan tersebut adalah melalui pembentukan dan pengembangan sentra industri Cual.

Rencana Aksi pelestarian Tenun Cual yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional (WBTB) harus dilakukan melalui pengembangan yang terarah dan terpadu, diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat di dalam pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan.

Kata ‘kriya’ berasal dari kata dalam kata Bahasa Sanksekerta, dalam konteks kesenian Hindu yang dialihkan ke dalam bahasa Jawa Kuno, berarti “pekerjaan, tindakan, khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Kekriyaan terkait dengan kebiasaan budaya dan aturan budaya masyarakat di suatu daerah, berhubungan dengan sejarah dan kehidupan pada masa lampau terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi, upacara ritual, maupun seremonial.

Kriya secara umum dipahami sebagai produk yang dikerjakan secara manual dan bersifat fungsional kontekstual (geokultural). Kriya menyatu dengan manusia dan eksistensinya. Produk kriya merupakan artefak dari kurun budaya tertentu, bukti dari suatu tingkatan peradaban, oleh karena itu produk kriya berkembang seirama dengan tuntutan perubahan sumber daya lingkungan, baik lingkungan alam, fisik, budaya, pangsa pasar, lokal maupun global.

Dalam masyarakat suku bangsa (etnic group) terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu berwujud ideal berupa ide atau gagasan, berwujud sistem sosial atau perikelakuan dan yang berwujud material berupa kebendaan. Salah satu kebudayaan material yang berkembang pesat saat ini adalah tradisi kekriyaan.

Peran kekriyaan dalam kehidupan manusia erat kaitannya dengan kebiasaan budaya (cultural habits) dan aturan budaya (cultural law) komunitasnya. Tradisi ini beranjak dari kebutuhan primer, sebagai kelengkapan aktivitas religius, magis dan mistik, kemudian tradisi kekriyaan berkembang menjadi kebutuhan sekunder, namun dalam arti luas karya kriya sangat berarti dan memiliki makna dalam menata lingkungan yang lebih baik, bahkan untuk mewujudkan ekspresi estetis atau cita-cita spiritual yang mengandung nilai-nilai norma universal.

Tradisi kekriyaan yang pada hakekatnya merupakan produk budaya material bermuatan estetis dalam perkembangannya mencakup dua jenis seni kriya, yakni seni kriya etnik nusantara dan seni kriya modern. Khusus untuk kriya etnik nusantara memiliki fungsi religius, untuk upacara, kepentingan magis dan untuk fetish. Sedangkan kriya modern yang lebih bersifat pragmatis bagi kepentingan hidup modern, dapat dikelompokkan antara lain dalam bentuk kriya kagunan (peralatan rumah tangga, peranti, perabotan, barang anyaman, gerabah dan tenun), dan kriya lengkapan (ornamen, asesoris, komponen bangunan, benda hias, benda seni dan lain-lain).

<<Sebelumnya          Selanjutnya>>

(Sumber dikutip dari buku Memarung, Panggung, Bubung, Kampung dan Nganggung, Akhmad Elvian, Tahun 2015)