“Gubernur itu Ibarat CEO (Chief Executive Officer)
dalam sebuah perusahaan.
Saya itu melamar pekerjaan menjadi CEO di DKI.
Tentu saja terserah kepada masyarakat DKI
apakah mereka puas dengan pekerjaan saya selama ini
dan akan memilih saya kembali menjadi CEO.
Tugas saya adalah bekerja sebaik-baiknya
buat masyarakat DKI sebagai pemegang sahamnya.”
(Ahok dalam wawancara Glory Ojong)
SEJUTA KTP untuk mengusung Ahok melalui jalur independen dalam Pemilihan Gubernur DKI menjadi kenyataan. Tidak terasa, sudah satu tahun Teman Ahok berjuang bersama segenap warga Jakarta yang merindukan perubahan.
Banyak hal yang telah Teman Ahok lalui dalam proses mengumpulkan KTP sebagai tiket bagi Ahok untuk maju ke bursa Pilgub 2017 melalui jalur independen. Pro-kontra, perdebatan, isu, fitnah, pelintiran, kesalah-pahaman, penjegalan, semua menjadi proses pendewasaan bagi Teman Ahok, bagi warga Jakarta, bahkan bagi Indonesia.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966) kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sejak 19 November 2014. Sebelum menjadi gubernur, Basuki pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI dari 2012-2014 mendampingi Joko Widodo sebagai Gubernur.
Ahok kembali “mengangkat” nama Bangka Belitung ke pentas nasional, bahkan dunia dengan fenomena yang monumental itu dengan segala warna-warni pro kontranya.
Maka tidak berlebihan manakala Harian The New York Times edisi 5 Juni 2016 mengulas sosok Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Harian dengan oplah nomor dua terbesar di Amerika Serikat (AS) itu menyebut Ahok sebagai sosok yang mengguncang sistem perpolitikan Indonesia yang dikendalikan oleh kaum elite partai.
Sistem yang diguncang Ahok adalah sistem dikuasai keluarga dinasti politik, para mantan jenderal, atau para pebisnis kaya.Dikatakan bahwa politisi di daerah “disandera” oleh kepentingan politisi nasional.
Dalam sistem semacam itu, walau unggul dalam survei, para calon kepala daerah kadang-kadang tidak dapat berbuat banyak. Partai politik umumnya meminta “mahar” untuk pencalonan dan mensyaratkan untuk membiayai sendiri kampanye politik.
New York Times menyebut Ahok sebagai sosok political outsider karena latar belakangnya sebagai minoritas dari sisi etnis dan keyakinan agamanya. Status outsider itu semakin kuat dengan keputusannya berpolitik melalui jalur independen.
Sejak menjabat November 2014, Ahok disebut tidak menunggu lama untuk “menyikat” birokrat yang tidak kompeten dan memberantas korupsi yang merajalela. Harian itu menulis, target baru mantan Bupati Belitung Timur itu adalah mengguncang sistem politik nasional yang dikuasai kelompok oligarki.
New York Times kemudian mengutip Charlotte Setijadi, periset di program Ilmu Indonesia di Institut Studi Asia Tenggara-Yusof Ishak yang berbasis di Singapura. Charlotte mengatakan, “Basuki (Ahok) menampilkan dirinya sebagai sosok alternatif melawan sistem politik yang memuakkan banyak rakyat Indonesia.”
“Keberaniannya itu akan menolong dia meraup suara pada Pilkada DKI,” lanjut Charlotte.
Sadarkan Parpol
Laporan itu menyatakan, Ahok memilih jalur independen demi menghindari bernasib sama seperti Presiden Joko Widodo yang terkadang mendapatkan kesulitan dari partai politik pendukungnya sendiri, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ahok disebut menolak tawaran dukungan dariPDI-P untuk maju sebagai calon gubernur Jakarta.
Laporan itu juga mengutip bakal calon gubernur DKI dari Partai Gerindra, Sandiaga Uno, yang mengatakan keputusan Ahok maju melalui jalur independen seharusnya membangunkan elite politik.
“Jika parpol tidak mendapatkan kandidat yang tepat yang didukung rakyat, parpol akan menghadapi calon independen yang didukung rakyat. Parpol perlu mempersiapkan strategi untuk menarik calon dengan kemampuan terbaik,” tutur Sandiaga dalam laporan itu.
Walau tidak sedikit yang menentang, gaya kepemimpinan Ahok yang sangat blak-blakan memenangkan hati banyak warga Jakarta, terutama para pemilih muda dan kaum kelas menengah ke bawah.
Golongan masyarakat ini terpikat dengan sejumlah kebijakan-kebijakan Ahok, seperti percepatan pembangunan infrastruktur seperti MRT dan program Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat yang menolong banyak masyarakat miskin.
Pada Pilkada DKI 2012, etnisitas dan agama Ahok menjadi salah satu isu yang digunakan lawan politiknya untuk menjegalnya sebagai CEO DKI.
Kali ini dengan mengutip sebuah survei, The New York Times menulis bahwa hampir dua pertiga warga Jakarta tidak merasa isu SARA akan diangkat pada Pilkada 15 Februari 2017. Semoga!