JAKARTA, LASPELA — Setelah memenangi pemilu pada Januari lalu, Tsai Ing-wen akhirnya resmi dilantik menjadi presiden perempuan pertama Taiwan, Jumat (20/5). Perayaan besar-besaran sebagai ekspresi sukacita pun menyambut Tsai yang dianggap dapat menonjolkan kembali kepribadiaan unik Taiwan seiring dinginnya hubungan dengan China.
Dalam pemilu Tsai berhasil mengalahkan rivalnya dari Partai Kuomintang yang selama ini dekat dengan pemerintahan China di bawah kepemimpinan Ma Ying-jeou.
Menurut beberapa pengamat, para pemilih melihat pergerakan Ma terlalu dekat dengan China yang masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari negaranya.
China pun selama ini memandang Tsai secara skeptis karena dalam kampanyenya, ia berjanji akan mengembalikan martabat Taiwan. Pesan ini sangat memikat masyarakat yang sudah lelah dengan bayang-bayang China.
Hari ini, sekitar 20 ribu tamu dan masyarakat berkumpul di depan kantor presiden, menyaksikan momen di mana Tsai mengangkat tangan kananya dan mengucap sumpah di bawah bendera Taiwan. Lambang negara dan presiden pun disematkan padanya.
Setelah prosesi rampung, Tsai menemani Ma keluar dari gedung presiden sambil menjabat tangan dan melempar senyum kepada para staf diiringi parade marching band.
“Tsai Ing-wen adalah presiden pertama dalam sejarah Taiwan jadi saya ingin menyaksikan momen sakral ini. Saya harap dia akan membawa stabilitas di Taiwan dan memperbaiki perekonomian kami. Kami memiliki harapan tinggi padanya,” ujar seorang warga, Chen Su-mei, seperti dikutip Channel NewsAsia.
Perayaan inagurasi ini akan melibatkan 1.000 orang yang menampilkan pertunjukkan kebudayaan dan sejarah bertajuk “Pride of Taiwan”. Namun, agenda yang paling dinanti adalah ketika Tsai memberikan pidato selama 30 menit. Pidato ini diperkirakan akan dipantau ketat oleh China.
Status quo
Beberapa analis memperkirakan bahwa China ingin Tsai menyampaikan pesan mengenai konsep “one China” atau kesepakatan tak tertulis yang sering disebut konsensus 1992.
Kesepakatan ini yang membuat hubungan China dengan Ma lebih cair. Namun, Tsai dan jajaran Partai Demokratik Progresif tak pernah mendukung gagasan itu.
Tsai diperkirakan akan tetap mempertahankan status quo dengan Beijing dan sangat kecil kemungkinan ia akan mengompromikan isu “one China” dalam pidatonya.
“Tsai berulang kali menekankan bahwa hubungan kedua negara akan berdasarkan prinsip demokratik dan opini publik Taiwan, jadi sulit baginya untuk mengatakan hal yang ingin didengar oleh China,” ucap Lai I-chung, Wakil Direktur Taiwan Thinktank.
Pemilih sendiri diperkirakan akan lebih ingin mendengar bagaimana upaya Tsai memperbaiki perekonomian Taiwan dan mempertahankan kedaulatan Taiwan. Mayoritas penduduk Taiwan menginginkan hubungan damai dengan China, tapi tidak sampai mengorbankan kebudayaan demokrasi mereka.
“Dia dapat bernegosiasi dengan China selama kedaulatan Taiwan dipertahankan. Bagi saya, Taiwan adalah negara independen,” tutur seorang mahasiswa Taiwan, Hu Hsiu-chi.
Taiwan berpisah dari China pada 1949 setelah perang sipil usai, tapi tidak pernah mendeklarasikan melepaskan diri.
Selama ini, Beijing sudah memperingatkan Tsai untuk tidak melakukan pergerakan untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara formal. (CNN/Stef)