Dalam setiap kunjungan kerja, pidato kenegaraan, dan kebijakan strategis, Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan bahwa “pendidikan adalah investasi terbesar bangsa” dan merupakan penentu utama kemajuan suatu negara.
Pemerintah, katanya, telah menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, termasuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan pendidik sebagai fondasi sistem pendidikan Indonesia yang lebih kuat.
Namun, jika kita menelisik data dan praktik di lapangan, terutama dalam konteks pendidikan tinggi, sebuah ironi kebijakan tampak semakin jelas PTN lebih mementingkan ekspansi kuantitas daripada kualitas substantif, dan kebijakan ini justru berpotensi merusak sinergi sistem pendidikan nasional.
Data Nasional Tantangan APK Pendidikan Tinggi
Berbagai laporan nasional menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia masih berada di level yang rendah dan tertinggal dibanding negara tetangga di ASEAN.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), APK pendidikan tinggi Indonesia berada di kisaran 31–32 persen artinya baru sekitar sepertiga penduduk usia kuliah yang benar benar mengenyam pendidikan tinggi.
Ini terjadi di tengah kenyataan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia lebih dari 4.000 institusi termasuk PTN dan PTS tetapi akses dan partisipasi tidak meningkat signifikan.
Lebih jauh lagi, target nasional melalui RPJMN menempatkan APK pada 38,04 persen pada 2029, dan target jangka panjang mencapai 60 persen pada 2045 sebagai bagian dari strategi transformasi sosial.
Namun angka-angka ini masih sangat jauh dari rata rata global dan negara tetangga seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49 persen), dan Singapura (91 persen).
Kualitas vs Kuantitas Di Mana Fokus Pendidikan Tinggi?
Dalam kerangka Human Capital Theory (Becker), pendidikan tinggi seharusnya berkontribusi secara nyata terhadap kemampuan produktif tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi di banyak PTN, strategi pembukaan fakultas baru, tanpa kajian terhadap kebutuhan lokal, relevansi kurikulum, kemampuan dosen, maupun daya serap lulusan di pasar kerja, menunjukkan bahwa logika kuantitas telah menggantikan fokus kualitas.
Menurut Political Economy of Education, ekspansi pendidikan yang tidak didukung oleh struktur sosial dan ekonomi yang sehat hanya akan memperlebar kesenjangan sosial.
Jika perguruan tinggi negeri (PTN) menggunakan legitimasi negara sebagai “perekat” untuk menguasai pasar pendidikan, sementara meremehkan peran perguruan tinggi swasta (PTS) yang selama ini menjadi penggerak akses pendidikan lokal, maka yang terjadi adalah asimetri kuasa bukan peningkatan kualitas SDM yang inklusif.
Ironi tambah tajam ketika ekspansi ini terjadi tanpa memperhatikan disparitas kapasitas sosial di daerah, terutama di luar Jawa dan kota kota besar, termasuk Bangka Belitung.
Padahal dalam perspektif antropologi pendidikan (Education and Cultural Context), penyusunan kebijakan harus sensitif terhadap konteks sosial lokal dan tidak boleh represif terhadap institusi pendidikan setempat.
Arogansi Akademik, Ketimpangan, dan Legitimasi Yuridis
Secara legal, membuka program studi baru di PTN mungkin sah berdasarkan prosedur Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau Kemdikbudristek. Tetapi legitimasi hukum tidak serta merta menjamin legitimasi sosial dan etika.
Kebijakan yang hanya memprioritaskan kuota mahasiswa dan ukuran institusi besar sering mengabaikan riset mandiri, relevansi kurikulum, dan kompetensi sumber daya dosen.
Padahal, menurut filosofi pendidikan progresif (John Dewey), lembaga pendidikan tinggi harus menjadi laboratorium pemikiran kritis, bukan kendaraan simbol prestise.
Dalam banyak kasus, pembukaan fakultas baru justru memperlebar ketimpangan PTN besar mendapatkan alokasi anggaran jauh lebih besar dibanding PTS, meskipun PTS menyerap hampir 75 persen mahasiswa di Indonesia fenomena ini terlihat di data Komisi X DPR yang menyebutkan ketimpangan alokasi anggaran pendidikan.
Kebijakan ini tidak hanya tidak efektif meningkatkan APK, tetapi juga memperlemah daya hidup PTS yang juga menyediakan lapangan pendidikan tinggi.
Agenda Prabowo Transformasi Pendidikan atau Ekspansi Institusional?
Pidato Presiden Prabowo bahwa pendidikan adalah aset strategis untuk membangun SDM unggul adalah afirmasi penting.
Namun tanpa disertai kebijakan implementatif yang fokus pada relevansi kurikulum, pemerataan akses di wilayah 3T, subsidi bagi keluarga ekonomi rendah, sinergi PTN PTS, dan relevansi dengan kebutuhan industri lokal,
Apa yang tampak justru adalah upaya ekspansi status dan kuantitas institusi yang mengabaikan konteks sosial di daerah. Hal ini tidak hanya tidak sejalan dengan target nasional, tetapi juga berpotensi memperlebar disparitas pendidikan antara pusat dan daerah.
Bangsa Indonesia membutuhkan kebijakan pendidikan tinggi yang: berakar pada data sosial-ekonomi, bukan sekadar angka institusi, menghormati peran historis dan kontribusi PTS, mempertimbangkan ketimpangan akses regional, menguatkan mutu dosen dan relevansi riset, serta membangun hubungan strategis dengan dunia kerja dan masyarakat lokal.
Meningkatkan APK tidak berarti hanya membuka pintu kuliah, tetapi menjadikan pendidikan tinggi sebagai wahana transformasi sosial yang adil, relevan, dan berkualitas sesuai semangat pendidikan sebagai investasi fundamental bangsa.
Jika tidak, ekspansi PTN hanya akan menjadi cerita ambigu tentang pencapaian kuantitatif tanpa dampak substantif, jauh dari cita-cita Indonesia Emas 2045, dan lebih mirip with Prestige Without Purpose.(*)






Leave a Reply