Cual; Adi Busana Etnik Babel Cerminkan Kerendahan Hati

Oleh: Agus Ismunarno
Pemimpin Redaksi LASPELA

 

MENELUSURI kesejarahan awal mula kain cual, Ahmad Elvian, Sejarawan sekaligus Budayawan Kepulauan Bangka Belitung menemukan bahwa kehalusan tenunan, tingkat kerumitan motif, ide garapan yang dipakai dan warna pada kain tenun Cual mengandung makna filosofi hidup, hasil kontemplasi perjalanan religi dan budaya penenunnya dan sebagai lambang identitas serta karakter budaya Melayu Bangka.

“Tenun Cual (celupan awal) sangat terkenal karena tekstur kainnya yang begitu halus, adanya harmoni antara sungkit, ikat dan motif sehingga tidak ada sesuatu yang dominan dari yang lain. Kemudian warna celupan benangnya tidak berubah, dan ragam motif seakan timbul jika dipandang dari kejauhan sebagai simbol masyarakat Melayu Bangka yang rendah hati dan selalu menjaga marwah,” tandas Ahmad Elvian ketika memberikan sambutan pada Peresmian Museum Cual ISHADI, Selasa (15/8-2017).

Berbagai motif tenun Cual lama yang saat ini tersisa dan tersimpan dengan baik dan menjadi koleksi di Museum Cual Ishadi antara lain seperti motif Bebek-bebek, Naga Bertarung, Burung Hong, Kembang Cina, Seroja atau Lotus, Teratai, Kembang Cempaka dan Kembang Gajah serta motif Garuda atau kombinasi dari motif-motif tersebut.

Dalam Buku Memarung, Panggung, Bubung, Kampung dan Nganggung, Akhmad Elvian menulis kain cual memiliki sejarah panjang sejak tanggal 20 Mei 1812 Masehi ketika Jenderal Robert Rollo Gillespie menguasai Kota Muntok dan kemudian memproklamirkan, bahwa Inggris berkuasa atas pulau Bangka hingga berkuasanya kembali Belanda pasca traktat London.

Ketika gejolak politik redam, perempuan-perempuan hebat Kota Muntok terutama yang tinggal di rumah panggung di kampung-kampung seperti Kampung Pemuhun dan Kampung Patemun (sekarang Teluk Rubiah) bisa melakukan pekerjaannya bertenun, membuat kain dan selendang dari sutra dan ada juga yang dicampur dengan benang emas terutama untuk pakaian orang-orang perempuan.

Kain tenun Muntok itu disebut dengan nama kain Cual. Kain ini kemudian diperdagangkan orang ke negeri lain seperti ke Palembang, pulau Belitung, Pontianak, pada bagian lain tanah melayu, Singapura, dan Eropa. Harga selembar kain Cual pada waktu itu berbentuk selendang berkisar paling murah f 25,- sampai f 100,-.

Menenun kain Cual, awalnya merupakan tradisi kekriyaan bangsawan di Muntok yang bergelar “Abang” dan “Yang”, terutama perempuan keturunan dari Ence’ Wan Abdul Hayat (Lim Tau Kian), jadi tidak mengherankan bila beberapa motif Cual mendapat pengaruh Cina sepert Naga Bertarung, Burung Hong, dan motif Kembang Cina.

Kain cual pada sekitar abad 18 Masehi merupakan salah satu kriya etnik nusantara yang memiliki fungsi religius, untuk upacara, kepentingan magis dan untuk fetish.

“Fungsi primer dari tenun Cual adalah sebagai pakaian kebesaran bangsawan di Bangka, pakaian pengantin atau upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan (life cycle) dan pakaian pada hari-hari kebesaran Islam dan adat lainnya, sebagai hantaran pengantin ataupun sebagai mahar pada acara nyurung barang yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan kedudukan) seseorang pada masa itu,” kata Ahmad Elvian.

ISHADI; Isnawaty– Abdul HADI

Peresmian Museum Cual ISHADI menjadi puncak perwujudan mimpi dan cita-cita Hj. Isnawaty dan Alm Abdul Hadi begitu Bangka Belitung diresmikan menjadi Provinsi 21 November 2000.

“Maka, nama ISHADI yang menjadi nama Museum dan Merek Dagang kain cualnya, sejatinya akronim dari Isnawati HADI,” kata Isnawaty, Ketua Yayasan Cual ISHADI ketika mengisahkan cita-cita awal keinginan merevitalisasi Kain Cual dan Pendirian Museum Cual disertai linangan air mata dan untaian kata yang tercekat tak kuat menahan haru bahagia.

Sesaat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdiri sang suami Alm. Abdul Hadi memberi ide agar mengangkat kain khas Bangka Belitung cual sebagai identitas daerah.

“Kebetulan karena kami mempunyai kain cual kuno dari seorang Demang Abdul Rahman Rojak, kami punya ide untuk mengangkat heritage Babel.

Kami tampilkan kain cual dengan mengubah motifnya agar tidak mononton tanpa meninggalkan pakemnya,” ungkap Isnawaty yang hingga kini menjadi Ketua PERWIRA (Perkumpulan Perempuan Wira Usaha Indonesia) Babel.

Kain Cual buatan Ishadi kini menjadi busana dari warga biasa, pengusaha hingga Presiden dan Wakil Presiden. Martha Tilaar tertarik dan berkunjung ke galeri ketika ditunjukkan motif kain-kain kuno.

Isnawaty Hadi, Wakil Ketua Umum KADIN Babel Bidang UMKM itu mengungkapkan, “Sejak Martha Tilaar itulah cita-cita mendirikan museum terpacu dan mulailah menabung hingga 10 tahun. Walau harus menges-menges, Alhamdulilah Museum bisa kami persembahkan buat Babel baik untuk Destinasi Wisata maupun pendidikan,” kata Isnawaty Hadi.

Kini, Museum Cual ISHADI yang terletak di Jl. Ahmad Yani Pangkalpinang, menjadi ikon baru bagi dunia pariwisata dan pendidikan Kepulauan Bangka Belitung.

Musium Cual ISHADI merekam perjalanan panjang sebuah pelestarian seni budaya kearifan lokal adibusana Negeri Serumpun Sebalai.

Anak-anak negeri bisa menggali dan belajar dari karya-karya adibusana yang adiluhung leluhur nenek moyang keluarga Isnawaty dan Hadi yang berusia ratusan tahun itu. Semoga!