PANGKALPINANG, LASPELA – Perpanjangan izin ekspor mineral termasuk timah, kembali dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kemarin.
Dalam RDP ini, anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya menegaskan bahwa mineral timah sebetulnya sudah memenuhi standar hilirisasi tahap satu. Tentu saja menurutnya, ini sudah termasuk dari bagian hilirisasi, berkenaan dengan larangan ekspor timah dengan dalih hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.
“Saya ingin sampaikan bahwa sebetulnya apa yang ada dipertimahan ini kita harus bangga bahwa hirilisasi yang disampaikan itu dari 6 mineral yang bapak paparkan itu Timah ini yang paling mateng pak,” katanya, dalam RDP tersebut.
BPJ menjelaskan tahun 2002-2003, ekspor pasir timah sudah dilarang. Sehingga di Bangka Belitung (Babel) berdiri industri-industri pengolahan timah (selain PT Timah- red), sehingga berikutnya yang diekspor dalam bentuk balok timah atau tin ingot.
“Yang diekspor dalam bentuk balok dengan kadar mencapai 99,9 persen, dalam artinya ini sudah masuk hilirisasi tahap satu. Itulab yang membedakan timah dengan mineral lain,” terangnya.
Sementara larangan ekspor yang diwacanakan pemerintah dengan dalih meningkatkan nilai tambah, menjadikan produk yang siap pakai atau produk hilirisasi. Ia menyebutkan, jika timah akan dijadikan produk hilirisasi, dibutuhkan banyak industri dan biaya serta regulasi.
Larangan ekspor ini juga membuat ketidakpastian dalam berusaha di Babel dan menimbulkan rasa tidak nyaman dan tenang.
“Untuk itu perlu lah kami mendapatkan kejelasan secara eklusif dari pak menteri tentang bagaimana jika timah sudah dinyatakan clear yah clear,” imbuhnya.
Ia menilai, memukan beberapa kendala-kendala didalam proses hilirisasi timah, baik dari aturan fiskal dan lainnya, karena apabila dikenakan PPN 11 persen terhadap ingot itu betul-betul memberatkan masyarakat atau pelaku usaha.
Pemerintah, tegasnya, jangan membuat sulit dengan kebijakan dan aturan-aturan yang sebetulnya bisa lebih disederhanakan
“Mereka berpikir lebih baik bikin pabrik di luar lalu masuk lagi dalam negeri. Pada catatan 2021 saja ada 15 item barang-barang yang diimpor masuk ke Indonesia dan itu nilainya 95 juta USD, sehingga dengan kebijakan ini orang berorientasi kepada ekspor nah hal-hal seperti ini saya pikir perlu kita sepakati, tidak hanya timah saya juga melihat pada mineral-mineral lain,” pungkasnya. (dnd)