Religi  

Menjadi Figur yang Menanti dan Mendapatkan

Oleh: RD Martinus Handoko

Avatar photo
RD Martinus Handoko

Pada 4 kali hari Minggu sebelum tanggal 25 Desember, Gereja Katolik merayakan perayaan Adven. Bisa dipastikan bahwa perayaan ini terjadi setiap tahun. Pertanyaannya, apakah memang harus dirayakan setiap tahun, atau boleh meniadakannya, sehingga tidak perlu merayakannya setiap tahun. Dalam hal ini, penanggalan liturgi Gereja Katolik sangat ketat, bahkan secara rinci mencatat perayaan-perayaan yang dirayakan dalam 1 tahun. Karenanya, barangkali sedikit saja timbul pertanyaan, “Kita mau merayakan apa saja dalam satu tahun ini?” Sudah sangat jelas tersusun dalam penanggalan liturgi tersebut terkait perayaan yang dilakukan.

 

Layaknya suatu kelompok atau institusi atau lembaga diminta untuk membuat program kerja, Gereja Katolik sudah memberikan konsep dasar yang jelas tentang apa yang mau dilakukan, tentu terkait dengan perayaan-perayaan Liturgi.

Perayaan Liturgi dalam Gereja Katolik sangatlah istimewa. Keistimewaan itu terletak dalam perayaan Ekaristi. Di sana disuguhkan Sabda Tuhan, yang menjadi makanan pokok bagi umat beriman kristiani. Bukan itu saja, secara rohani, yang tergabung dan berpartisipasi dalam perayaan tersebut, diperkenankan menyambut Tubuh dan Darah Kristus, sebagai tanda kemurahan hati Tuhan sendiri, dan teladannya yang agung, dengan memberikan dirinya sepenuhnya, mau untuk dipecah-pecah dan dibagikan. Yang menyadari arti bersama itu penting, Perayaan Ekaristi menghadirkan kebersamaan tersebut, siapa saja terbuka untuk merayakan Perayaan Ekaristi, suatu kumpulan orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan.

Salah satu keistimewaan dari perayaan Adven adalah adanya simbol dan seruan mendalam, yang memang tidak dapat dilangkahi atau dihilangkan. Dalam perayaan Adven, seperti biasa, seruan tentang akan datangnya Raja Damai, pertobatan, penantian, pengharapan, suka cita, dan akan kasih yang segera dialami menjadi gaung yang bergema di telinga orang-orang yang mengimani Kristus. Perayaan ini tidak mengajak umat beriman kristiani untuk bersorak-sorai, hidup berfoya-foya, mencoba mencari kesenangan semu, namun, secara khusus, umat beriman kristiani diajak untuk meneliti batinnya, mempersiapkan, bahkan menyerahkan dirinya secara total kepada Tuhan.

Sakramen Tobat menjadi jalan Gereja Katolik untuk memberikan kesempatan bagi umat beriman kristiani untuk mengakukan dosa dan kelemahannya di hadapan Tuhan. Dalam Minggu Adven ke 2, orang beriman diajak untuk bertobat, senada dengan seruan Yohanes Pembaptis yang menyerukan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!” Karenanya, sudah pasti, dalam kebiasaan Gereja Katolik, begitu juga dengan penerapannya di Gereja Katolik Indonesia, diberikan kesempatan bagi umat beriman kristiani untuk dapat menerima Sakramen Tobat, atau yang sering disebut dalam obrolan umat beriman kristiani sebagai pengakuan dosa atau rekonsiliasi.

 

Berbicara tentang bertobat, ada ilustrasi kecil. Kisahnya demikian, suatu ketika ada seorang pemuda yang sudah berpacaran, sebut saja pemuda itu bernama Akin dan pacarnya bernama Aili. Mereka sudah berpacaran 5 tahun lamanya. Waktu terus berjalan, sehingga terpikirkan dalam benak Aili untuk mengambil sikap, untuk meneruskan ke jenjang perkawinan. Hal ini pun dibicarakan kepada Akin. Akin pun merasa senang akan hal ini, namun juga merasa kurang siap, karena sudah nyaman dengan kehidupan yang dijalani selama ini. Baginya, hidup bersama dengan Aili sudahlah cukup. Namun, karena ide tentang menikah itu dianggap penting juga bagi Akin, Akin pun mengiakan harapan dari Aili dengan bertanya kepadanya, kapan kita ke rumah orang tuamu? Aili pun menjawab: segera saja! Baiklah, kata Akin.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Aili. Setiba di rumah orang tua Aili, kedua orang tua Aili menyambut dengan hangat kedatangan mereka. Tak butuh banyak waktu, setelah semua duduk, pertemuan itu langsung mengarah pada pembicaraan pokok. Ayah Aili bertanya: Apakah kamu serius ingin menikahi anak saya? Ya, sangat mau om, jawab Akin. Lantas, apa yang kamu punya sehingga kamu dengan begitu percaya diri mau menikahi anak saya? Apakah kamu sudah punya cukup modal untuk menyejahterakan kehidupan anak saya? Akin menjawab dengan tenang: Sabar om, coba saya ingat dulu, soalnya terlalu banyak yang saya miliki. Lalu ayah Aili dengan semangat menanyakan apa saja itu. Akin pun mencoba mendata apa yang dia miliki. Saya ada mobil 3 om, kemarin baru beli 3 lagi. Saya juga memiliki 5 motor, kemarin juga beli 3 lagi, beberapa unit rumah, belum lagi kebun yang luasnya sudah lupa berapa panjang dan lebarnya. Karena mendapat informasi tersebut, ayah Aili kemudian bertanya lebih lanjut: Jadi, kapan kita ke tempatmu untuk melihat semuanya itu, apakah bisa sekarang? Mendengar pertanyaan tersebut, Akin mencoba menghela napas sebentar dan dengan beberapa hembusan napas, mencoba untuk mengatakan sesuatu. Jadi, begini, om, … om mau lihat itu? Semuanya ada om, tenang saja.

Ayah Aili semakin penasaran bertabur antusias ingin melihat secara dekat dan langsung apa yang dimiliki calon menantunya itu. Akin menjawab: Om … dengan sekali lagi menghembuskan napas kecil dengan disertai suara nan pelan: jadi begini om, semua yang saya sebutkan tadi ada di dalam … ada di dalam … hmmm… “ada di dalam doa dan harapan saya om,” kata Akin sambil tersenyum simpul. Apa … jadi semua itu hanyalah khayalan saja, kata ayah Aili dengan nada tinggi yang memacu kenaikan tensinya. Sebentar, sebentar om, itu kan tadi sekedar harapan. Sekarang, ini yang sebenarnya yang bisa terjadi kalau saya menikahi anak om, sesuatu yang pasti. Apa itu, sahut ayah Aili yang kembali penasaran. Iya om, jadi begini om, kalau saya jadi menikahi dengan anak om, akan ada suatu kepastian yang akan diterima keluarga om, tentunya keuntungan yang sangat besar. Ayah Aili semakin penasaran dan mengatakan: Ayo cepat, jawab segera!” Mendengar ayah Aili yang tidak sabar lagi mendengarkan jawabannya, Akin pun dengan segera memberanikan menjawab: Iya om, kepastiannya adalah … om sudah pasti akan menjadi mertua saya, itu saja yang pasti om dapatkan, kata Akin sambil senyum menaruh harapan agar ayah Aili merasa senang dan dapat menerimanya sebagai menantu. Bukannya senang, malah ayah Aili menggeleng-gelengkan kepalanya, mengerutkan dahinya, lantas spontan berdiri dan meninggalkan pemuda yang dia rasa tidak cocok sama sekali menjadi menantunya. Kisahnya sampai di sini saja.

Saudara/i yang terkasih, barangkali kehidupan kita sama seperti dalam kisah tadi. peran yang paling menonjol pastilah ada pada si pemuda, Akin dan ayah Aili. Dua figur yang bila kita sadari, kita perankan dalam hidup kita. Kita bisa saja seperti ayah Aili, begitu bersemangat ketika mendengarkan ada kabar baik, apabila kabar tersebut membawa keuntungan bagi kita. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dan melintas di pikiran. Hingga pada akhirnya kita bertanya, dimanakah letak kabar yang menggembirakan itu, “Aku ingin melihatnya?” Apakah benar demikian yang terjadi dalam kehidupan kita? Lantas, bila benar terjadi, apa reaksi kita bila sungguh memperolehnya atau tidak sama sekali. Jika kita sangat beriman, pastilah kita akan mengucapkan syukur kepada Tuhan atas anugerah pemberian Tuhan tersebut. Namun, bila sebaliknya, jika tidak menerima sama sekali, apakah kita siap dengan rendah hati mau menerima kabar tersebut walaupun tidak mendapatkan faktanya. Kita seringkali membela diri dengan membawa sisi kemanusiaan kita dengan mengatakan: pastilah saya emosional, pastilah demikian!” Mana ada orang yang normal tidak marah ketika diberitahukan sesuatu tetapi tidak bisa melihat atau menerimanya secara langsung. Rasanya seperti dibohongi dan dipermainkan.

Figur lain yang barangkali kita perankan adalah menjadi Akin. Hidup seperti biasa, dijalani dan dihidupi. Namun, ada kalanya dalam perjalanan hidup, ada tantangan yang dijumpai. Mau mundur menghadapi tapi malu, tidak enakan. Mau maju menghadapi tantangan tetapi rasanya belum cukup umur, belum cukup kemampuan dan keahlian, bahkan pengalaman. Tetapi, apa boleh buat, semua harus dilalui, maunya sih tetap bertahan dan tegar menghadapi hidup, namun ada saja pertanyaan-pertanyaan yang tidak terduga, yang justru menuntun ke arah jalan penyadaran: Saya tidak punya ini dan itu, bagaimana saya harus menjawabnya? Kebohongan satu demi satu akhirnya terlontar dalam ucapan. Semua terlempar begitu saja seturut idealisme dan cita rasa diri. Kata-kata begitu indah sampai pendengarnya terbuai, terbawa arus emosi yang kita sampaikan. Namun, selalu ujungnya adalah dituntut pertanggungjawaban. Di saat itulah bisa saja terjadi, kita akan mengalami penyakit yang namanya frustasi berlebihan, yang buahnya adalah akan timbul penyakit-penyakit yang tidak diinginkan. Pastilah penyebabnya karena semua hanyalah gumpalan imajinasi tanpa realisasi.
Ketika berbicara tentang figur, rasanya menyenangkan, sangat sering disanjung-sanjung, “Sosok yang tak luput dari perhatian banyak orang.” Ada konsekuensi logis dari pernyataan tersebut! Seorang figur tentu memberikan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat, meninggalkan jejak yang diteruskan, bahkan dari generasi ke generasi. Misalnya figur dari salah satu pahlawan nasional yang dikenang jasanya, juga diteruskan teladan hidupnya oleh generasi penerusnya. Ada pula istilah pahlawan kesiangan yang disematkan bagi orang-orang yang menjadi pahlawan dadakan tetapi tidak tepat kemunculannya dalam situasi dan kondisi yang ada. Yang timbul pada akhirnya hanyalah sindiran dan cemoohan oleh orang-orang yang mendengarkan dan menyaksikannya.
Berbicara tentang Gereja Katolik, figur yang sering disebut-sebut dan diberi perhatian yakni figur Yesus. Tentu umat beriman kristiani sangat memahami akan hadirnya tokoh ini. Dia sosok yang dinanti-nantikan, yang telah dinubuatkan kedatangan-Nya oleh para nabi. Hidup dan karyanya senantiasa terarah pada kehendak Allah. Namun, menjalani figur Yesus tidak mudah. Figur yang selalu disebutkan oleh Paus, Kardinal, Bapa Uskup, dan Para Imam dalam homili atau khotbah itu pun tidak luput dari komentar dunia. Dalam Kitab Suci, secara khusus dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sangat jelas dikisahkan tentang hal ini. Banyak yang memuji keberadaan-Nya, namun tidak sedikit pula yang mengecam, mencemooh, bahkan mempertanyakan eksistensinya sebagai Anak Allah. Dalam hal ini, kesulitan yang sama pun dialami oleh siapa pun yang memberanikan diri menjadi pemimpin, entah itu dalam pemerintahan, maupun dalam konteks Gereja Katolik, menjadi pengurus di wilayah paroki, katekis, dan banyak tugas dan tanggungjawab lain, yang notabene menuntut figur yang proporsional dan ideal.

Segera bertobat!” seruan etis di zaman ini bagi pelaku-pelaku yang tidak beretika dalam bertindak. Tidak bijaksana melainkan gegabah. Hal inilah yang sering dikecam oleh Yesus sendiri, yang menjadi refleksi bagi kita: “banyak berbicara tetapi tidak melaksanakan.” Pandai berkata-kata dengan segala macam teori dan ilmu pengetahuan, namun realisasi dan aplikasinya nihil. Lantas, apakah yang bisa kita perbuat untuk menjadi pewarta iman yang benar di zaman ini?

Masih dalam kaitannya dengan edisi adven, kita semua diajak untuk merenungkan Sabda Allah, menyadari bahwa akar dan pondasi yang kuat untuk menjalani kehidupan adalah berpegang pada Sabda Tuhan. Bila sudah demikian, tentunya kita akan memiliki kekuatan iman dan penghiburan. Selanjutnya adalah, kita senantiasa bertobat, dengan menyadari kesalahan, bercermin diri, bukan menggunakan cermin orang lain. Konsep melihat diri menjadi penting, karena disanalah kita berusaha untuk menemukan kekurangan kita. Tidak mudah untuk mengakui kesalahan dan cepat untuk meminta maaf. Tidak mudah pula untuk menerima maaf dan memaafkan. Namun, pada diri Yesus sudah ditunjukkan pemberian diri secara total, dimana nilai-nilai yang diwartakan ditunjukkan dengan teladan diri, mau berjuang, mau memberikan diri, dan pada akhirnya menyerahkan diri secara total pada apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Konsentrasinya bukan pada diri sendiri, tetapi pada lingkungan orang banyak.

Kita diajak bersama-sama melihat dan merenungkan pesan Paus Leo XIV pada masa adven 2025 ini. Paus Leo XIV mendorong umat untuk bertobat, mempersiapkan diri menyambut Kristus, dengan fokus pada perbaikan batin (menyingkirkan keburukan, dendam, iri hati) dan solidaritas dengan sesama, menjadi gereja yang terbuka, misionaris, dan pembawa harapan di dunia yang sering disalahgunakan agamanya, serta berjuang menuju persatuan Kristiani dan perdamaian. Lagi-lagi yang diserukan adalah kesadaran untuk melihat diri sendiri.

Dalam memasuki masa adven, Paus Leo XIV mengajak umat Katolik di seluruh dunia untuk menyiapkan hati menyambut kelahiran Yesus Kristus dengan sikap yang lebih terbuka, peduli, dan bebas dari jerat materialisme. Dalam refleksinya, Paus Leo XIV mengingatkan bahwa masa Adven bukan semata rangkaian liturgi, melainkan waktu rohani untuk membersihkan diri dari kepentingan pribadi dan dorongan material yang dapat membebani hidup. Ajakan itu disampaikan Paus dalam sapaan kepada para peserta konser bersama kaum miskin yang digelar di Aula Paulus VI, beberapa waktu lalu (informasi dari berbagai sumber).
Dengan demikian saudara/i yang terkasih, pastilah Anda memahami mengapa saya memberi judul pada renungan ini: “Menjadi Figur yang Menanti dan Mendapatkan.” Pesannya sederhana bagi kita. Kitalah figur itu, subjek, pelaku. Secara istimewa dalam masa Adven ini, kita diajak untuk membawa diri kita pada figur yang benar, benar bukan karena mengikuti kesenangan banyak orang, tetapi yang memang pada dasarnya berakar pada motivasi yang murni dan kesungguhan hati untuk mau melakukan yang baik, yang terpuji dan teruji. Kita tentu seringkali menanti, bukan hanya karena merayakan Adven. Penantian itu terkadang sebentar, namun seringkali sangat lama. Yesus ingin agar kita selalu memiliki hati yang berjaga, yang setiap hari hidup dan bercahaya. Bila akan redup, kita ingat lagi siapa diri kita ini! Keyakinan dan kepercayaan akan penyertaan dan pendampingan Yesus menjadi suluh utama di dalam perjuangan hidup kita. Niscaya, keraguan dan kecemasan tak menghalangi kita untuk tetap senantiasa berjaga. Pada akhirnya pun, kita akan mengerti bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Barangkali tidak sekarang, karena kita dipenuhi dengan keinginan pribadi. Namun, dalam iman dan kepercayaan akan Tuhan, semua bentuk penyerahan diri kepada-Nya akan menemukan hasil yang memuaskan. Ingat sekali lagi, bila Anda percaya!

Menutup renungan ini, saya tertarik dengan salah satu ayat dari bacaan dari Kitab Suci, yang merupakan salah satu bacaan pada Minggu ke 3 masa Adven, Minggu Gaudete “Bersukacitalah”, dari Surat Yakobus 5:7: Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Selain petani, kita dapat menyematkan tentang profesi kita masing-masing. Entah kita sebagai apa dalam profesi dan rutinitas kita, mari saudara/i yang terkasih, kita diajak untuk meyakini sabda Tuhan ini. Tuhan jauh lebih mengerti apa yang kita nantikan dan kita butuhkan. Dalam lanjutannya, Surat Yakobus 5:9, ditegaskan penggalan pesannya demikian: “janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan.” Karenanya, dibalik usaha dan perjuangan hidup kita, jangan lupakan Tuhan. Dia sudah menyediakan yang terbaik bagi hidup kita. Maka, jadilah figur yang bersiap siaga, tidak lelah menanti dalam iman, bersukacita dan bersemangat dalam memberi teladan, dan bersyukur atas apapun yang kita terima dari Tuhan sendiri. Tuhan memberkati. (*)

 

Leave a Reply