“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”
(Yesaya 55:8–9)
Banyak orang hari ini hidup dalam tekanan: harus terlihat berhasil, harus punya penghasilan tertentu, harus punya kehidupan seperti yang dipamerkan di media sosial. Kita hidup dalam era pembanding tanpa akhir. Jika tidak hati-hati, hidup kita akan dipenuhi kelelahan batin karena terus mengejar ekspektasi orang lain.
Pertanyaan sederhana namun penting muncul: Untuk siapa sebenarnya kita hidup?
Tuhan menjawab melalui Yesaya 55:8–9. Ia berkata dengan sangat jelas bahwa jalan dan rancangan-Nya jauh berbeda dari rancangan manusia. Ayat ini bukan untuk menjatuhkan kepercayaan diri kita, tetapi untuk mengingatkan bahwa kehidupan punya tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar memenuhi standar dunia.
Renungan ini mengajak kita melihat hidup bukan dari cara pandang dunia, tetapi dari perspektif Allah yang lebih luas, lebih bijak, dan lebih penuh tujuan.
Tuhan Melihat Lebih Jauh dari Manusia
Kita hanya melihat apa yang ada di depan mata: peluang, risiko, perhitungan logis. Dunia menilai seseorang dari apa yang ia miliki atau capai. Namun Alkitab berulang kali menunjukkan standar Tuhan berbeda:
• Tuhan memilih Daud, bukan saudara-saudaranya yang lebih gagah
• Tuhan memanggil Musa yang gagap menjadi pemimpin
• Tuhan memakai Petrus, nelayan yang gagal, menjadi rasul besar
Pilihan Tuhan sering membuat manusia mengernyit. Itu karena Tuhan melihat apa yang kita tidak lihat: hati, potensi, dan masa depan yang Ia sendiri sedang bentuk.
Ketika Tuhan memanggil, Ia tidak bertanya, “Apakah kamu sudah sempurna?”
Ia berkata, “Biarkan Aku yang menyempurnakan engkau.”
Panggilan Tuhan Tidak Bergantung pada Tekanan Dunia
Kita terbiasa membangun rencana berdasarkan logika ekonomi atau sosial:
“Jurusan ini harus dipilih karena prospek kerjanya bagus.”
“Pekerjaan ini harus diterima supaya terlihat sukses.”
“Kehidupan rohani pun harus tampak keren untuk di-posting.”
Namun Tuhan tidak pernah memanggil kita untuk tampil hebat demi penilaian manusia. Ia memanggil kita untuk hidup setia dan menjadi berkat.
Dalam Efesus 2:10, Paulus menegaskan bahwa Allah telah menyediakan pekerjaan baik untuk kita lakukan. Itu berarti setiap kita memiliki panggilan unik yang tidak bisa digantikan orang lain.
Kita tidak dipanggil untuk menjadi orang lain.
Kita dipanggil untuk menjadi diri kita dalam Kristus.
Ketaatan Mendahului Pemahaman
Kita sering berkata kepada Tuhan:
“Tunjukkan dulu rencana-Mu secara lengkap, baru aku taat.”
Namun pola Alkitab justru sebaliknya.
• Abraham diminta pergi sebelum tahu tujuannya
• Nuh diminta membangun bahtera sebelum hujan turun
• Gideon diminta bertempur dengan pasukan yang sangat sedikit
Ketaatan kepada Tuhan sering kali terasa seperti melangkah dalam gelap. Namun kita tidak berjalan sendiri. Tuhan yang memanggil adalah Tuhan yang menuntun.
Kadang ketaatan lebih dulu, barulah pengertian menyusul.
Kalimat yang bijak pernah mengatakan:
“Ketika kita tidak mengerti jalannya, percayalah hati-Nya.”
Jalan Tuhan Selalu Menuju Pemulihan
Dunia sering membuat manusia merasa kurang:
kurang pintar, kurang kaya, kurang hebat, kurang layak dicintai.
Tekanan itu membuat identitas kita rapuh dan mudah retak.
Namun visi Tuhan atas hidup kita selalu berkaitan dengan pemulihan:
• memulihkan hubungan kita dengan Allah
• memulihkan karakter kita menjadi serupa Kristus
• memulihkan komunitas melalui kehidupan yang taat kepada Tuhan
Ketika kita mengikuti jalan Tuhan, kita dibebaskan dari pola perbandingan yang melelahkan. Kita belajar menerima diri sebagai ciptaan yang berharga, bukan karena pencapaian, tetapi karena Tuhan yang memanggil dan mengasihi.
Jalan Tuhan Tidak Selalu Tampak Masuk Akal
Mengikuti Tuhan terkadang membuat orang lain bertanya:
“Mengapa kamu memilih jalur ini?”
“Mengapa mengambil keputusan yang berisiko?”
“Apakah kamu tidak takut gagal?”
Keputusan Petrus meninggalkan jala mungkin dianggap bodoh oleh sesama nelayan.
Keputusan Paulus meninggalkan kehormatan sebagai Farisi mungkin dianggap sia-sia oleh orang sezamannya.
Namun sejarah membuktikan:
Keputusan yang kelihatannya aneh bagi dunia, bisa menjadi karya besar dalam rencana Tuhan.
Kadang mengikuti Tuhan berarti melawan arus. Namun lebih baik melangkah dalam kehendak Allah daripada diam dalam kenyamanan yang menjauhkan kita dari tujuan hidup sejati.
Damai Sejahtera Menyertai yang Hidup dalam Panggilan Allah
Damai yang Alkitab maksud bukan tanpa masalah. Damai itu adalah keyakinan bahwa Tuhan memegang hidup kita.
Filipi 4:7 menyebutnya sebagai
“Damai sejahtera yang melampaui segala akal.”
Ketika kita hidup sesuai panggilan Tuhan:
• ada keteduhan meskipun keadaan tidak sempurna
• ada kepastian meskipun masa depan belum terlihat
• ada sukacita meskipun tantangan terus datang
Damai seperti ini tidak diberikan oleh dunia, dan dunia tidak bisa mengambilnya.
Yesaya 55:8–9 mengingatkan bahwa Tuhan tidak bekerja dengan cara yang sama seperti manusia. Rencana-Nya lebih tinggi dan lebih baik daripada rencana terbaik yang kita buat.
Dalam kehidupan sehari-hari, renungan ini mengajak kita:
• berhenti mendefinisikan diri berdasarkan tekanan dunia
• mempercayai Tuhan meski rencana-Nya belum terlihat jelas
• mengambil keputusan berdasarkan panggilan Allah, bukan ekspektasi orang
• mengalami hidup yang damai dan penuh tujuan dalam Kristus
Tuhan tidak ingin kita tersesat dalam ambisi dunia yang kosong. Ia mengundang kita kembali kepada-Nya. Jika hari ini kita merasa tidak punya arah, Tuhan berkata:
“Aku tahu ke mana Aku sedang membawa hidupmu. Percayalah pada-Ku.”
Hidup sesuai panggilan Tuhan mungkin tidak membuat kita viral atau terkenal. Namun hidup seperti itu menjadikan kita bernilai kekal di hadapan-Nya. (*)


Leave a Reply