Opini  

Bangka Belitung antara Lubang Camoi Timah dan Obsesi Negeri Laskar Pelangi

Oleh: Rusydi Sulaiman, Direktur Madania Center & Koordinator Bidang Riset Lembaga Adat Melayu Prov Kep.Bangka Belitung.

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Rusydi Sulaiman

Dekat tapi Jauh–suasana bathin yang dirasakan penduduk Pulau Bangka jauh sebelum terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Jangankan pesawat untuk tujuan Jakarta, kapal laut sejenis kapal Ferry pun untuk tujuan Palembang sangat terbatas dan tidak setiap hari operasi.

Belum lagi hal lain yang bersentuhan dengan kebutuhan pokok kecuali dipasok dari luar daerah. hampir-hampir sulit didapat saat itu, padahal secara geografis posisinya sangat dekat dengan ibukota, hanya memakan waktu tempuh 1 jam via pesawat.

Terkesan dimarginalkan, terpojok dan terisolir serta jauh dari peradaban yang sesungguhnya padahal Pulau Bangka kaya akan hasil hutan kebun; tanaman palawija, rempah-rempah, pohon-pohon keras yang menghasilkan beragam buah-buahan dan hasil tambang, terkhusus pasir timah yang menjadi rebutan sejak zaman Kolonial Belanda.

Pulau Bangka kemudian menjadi bagian dari Sumatera Selatan . Di tengah kurangnya kepedulian banyak pihak terhadap pulau tua tersebut kecuali timah dan lemahnya akses politik, pendidikan, budaya, ekonomi dan bidang-bidang lain, faktanya hal tersebut tidak juga menghambat putra-putri daerah tersebut untuk maju dan bersaing dengan yang lain.

Berikutnya begitu banyak tokoh besar asal Provinsi Bumi Serumpun Sebalai tersebut yang mengharumkan nama Pulau Bangka. Jalaluddin, Antasari Azhar, Jamaluddin Ancok, Rusli Rahman, Bustami Rahman, Yusril Ihza Mahendra hingga penyanyi bernama Rafika Duri dan lain-lain.

Diantara mereka ada yang berperan terkait dengan perjuangan pembentukan Provinsi selain tokoh-tokoh inti tertentu yang nyata-nyata berjuang sehingga terbentuklah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2000.

Pulau Bangka saat itu adalah kampung halaman yang sangat aman; tidak ada pengemis, pengamen, anak jalanan dan hal lain yang mengusiknya.

Pencurian apalagi perampokan, hampir tak terdengar. Secara sosial, budaya dan keagamaan, masyarakat cukup rukun, harmonis dan saling menghargai dan bertoleransi sekalipun beda agama dan lintas etnis. Penduduk kampung yang mayoritas petani lada dan juga karet menikmati mata pencaharian mereka dan sangat tercukupi.

Suatu hal yang mencirikan, bahwa pada musim tertentu, mereka bersedekah hasil panen ladang ume tersebut dalam bentuk tradisi nganggung–membawa makanan dan buah-buahan ke masjid, balai dan lokasi tertentu yang disepakati, melekat pada beberapa acara ritual keagamaan.

Banyak hal lain sebagai karakteristik yang masih dilestarikan sebagai bentuk nilai kearifan lokal Pulau Bangka bahkan kini setelah menjadi sebuah provinsi, dikenal dengan Bumi Serumpun Sebalai.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan ratusan pulau di sekitarnya mengalami perubahan signifikan di semua bidang kehidupan.

Semangat desentralisasi nampaknya menggiring Pemerintah Pusat untuk mempertimbangkan bentuk kebijakan bagi daerah yang memiliki banyak sumber. Jangan sampai merugikan daerah dengan otonomi tertentu.

Timah misalnya sebagai sumber alam yang dikelola perusahaan se-kelas TBK, diharapkan mensupport beberapa program ke arah pemberdayaan masyarakat melalui CSR miliknya.

Cukup lama dirasakan pahitnya, dan baru saja Pemerintah Pusat bertindak dengan semangat dan sikap tegas seorang presiden, bernama Prabowo Subianto.

Demo berakhir rusuh depan kantor Timah TBK 5 Oktober 2025 lalu pastinya merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap sikap dan manajemen perusahaan tersebut atau beberapa sebab lain yang sangat melukai.

Bila diperdengarkan kata,”Timah”, maka yang diingat adalah lubang camoi–tidak begitu positif, identik dengan kerusakan alam disebabkan oleh tangan manusia yang telah berlangsung ratusan tahun pasca penemuan pasir timah tersebut.

Berlarut-larut, tak kunjung selesai dan penuh pergolakan menerpa politik dan ekonomi. Sebenarnya sumber alam tersebut adalah nikmat dan anugerah ( taken for granted) bagi makhluk hidup bila disikapi secara proporsional dan profesional.

Tidaklah sebaliknya, menjadi laknat. Maka dari itu, ia perlu dicerdasi selain rasa syukur atas keberlimpahan sumber alam tersebut.

Sebagaimana ditegaskan dalam QS.Al-A’raaf (7): 10–artinya: “Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi, menjadi pemilik dan pengelolanya, dan disanalah Kami telah jadikan sumber penghidupan untuk mu, akan tetapi sedikit sekali dari kalian yang bersyukur“.

Secara konseptual fiqih (jurisprudensi Islam), setiap orang memiliki hak dan kewajiban tertentu terhadap sesuatu termasuk sumber alam sesuai aturan sehingga ia mungkin memilikinya secara penuh ( haqqut-Tamliik) dan atau mengambil manfaat saja, baik untuk kebutuhan pribadi atau kebermanfaatannya secara umum.

Terlebih Pemerintah melalui tangan Timah TBK, maka perusahaan tersebut mesti menyikapinya secara bijak untuk tujuan tertentu dan juga kemaslahatan sosial. Keberlangsungan hidup masyarakat Bangka Belitung yang bersentuhan langsung dengan sumber alam tersebut pastinya lebih diutamakan. Sinergitas semua pihak dengan semangat mencerdasi alam ciptaan Tuhan, Allah Swt. adalah kemestian.

Diharapkan Bangka Belitung tidak diingat sejumlah lubang camoi akibat penambangan liar (illegal mining) selama ini , melainkan ikon Negeri Laskar Pelangi yang memberi kesan adanya dinamika peradaban di dalamnya.

Bumi Serumpun Sebalai tersebut terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung berikut ratusan pulau disekitarnya yang sangat potensial untuk capai supremasi.

Mudah-mudahan tebukti. Wassalam. (*)

Leave a Reply