Indonesia adalah salah satu penghasil timah terbesar dunia.
Namun, ironinya, daerah yang menjadi pusat penghasilannyaProvinsi Kepulauan Bangka Belitung masih bergulat dengan kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, dan tata kelola tambang yang problematis.
Inilah paradoks yang berulang dari masa ke masa: kekayaan alam yang melimpah justru menghadirkan luka mendalam bagi masyarakat.
Potret Historis: Dari Kolonial hingga Reformasi
Pertambangan timah di Bangka Belitung memiliki sejarah panjang sejak era kolonial Belanda, ketika tambang dikuasai melalui Banka Tin Winning Bedrijf.
Saat itu, timah lebih banyak berperan sebagai komoditas ekspor, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh kasar dengan upah rendah. Warisan kolonialisme ekonomi ini melahirkan ketimpangan sosial yang masih terasa hingga kini.
Pada era Orde Baru, kontrol ketat atas PT Timah Tbk mencerminkan sentralisasi kekuasaan negara. Timah diposisikan sebagai aset strategis yang menopang pembangunan nasional, namun masyarakat Bangka Belitung hanya menerima sedikit manfaat.
Infrastruktur dasar memang dibangun, tetapi dampaknya lebih berupa “trickle down effect” ketimbang distribusi kesejahteraan yang adil.
Memasuki era Reformasi, liberalisasi ekonomi dan melemahnya kontrol negara membuka ruang bagi tambang rakyat. Di satu sisi, tambang rakyat memberi lapangan kerja alternatif di tengah keterbatasan sektor formal.
Namun di sisi lain, lahir praktik penambangan ilegal yang masif, merusak lingkungan, dan menciptakan tata niaga gelap yang menggerus penerimaan negara.
Dimensi Sosiologis: Identitas yang Retak
Bagi masyarakat Bangka Belitung, timah bukan sekadar mineral, melainkan identitas sosial. Sejak lama, pekerjaan di tambang menjadi pilihan utama ketika sektor lain, seperti pertanian dan perikanan, terpinggirkan.
Namun, ketergantungan pada timah justru menciptakan “jebakan monokultur ekonomi” yang rapuh.
Penambangan ilegal memperparah keretakan sosial. Di satu sisi, ia menjadi sumber nafkah instan; di sisi lain, menimbulkan konflik horizontal antarwarga, antara penambang dan aparat, serta antara masyarakat dan perusahaan.
Kerusakan lingkunganlaut yang tercemar, daratan yang berlubang—berdampak langsung pada generasi muda yang kehilangan ruang hidup yang sehat.
Dimensi Ekonomi: Berkah yang Tak Menetes
Secara ekonomi, kontribusi timah terhadap devisa negara tidak bisa diabaikan. Namun bagi Bangka Belitung, manfaat langsung sering kali tidak sebanding dengan biaya sosial dan ekologis yang ditanggung. Kebocoran produksi akibat tata niaga ilegal membuat penerimaan negara dan daerah berkurang drastis.
Studi menunjukkan bahwa sejak reformasi, kontribusi timah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) jauh lebih kecil dibanding kerusakan lingkungan dan biaya sosial yang ditimbulkannya.
Fenomena ini mempertegas apa yang disebut para ekonom sebagai resource curse—kutukan sumber daya alam—di mana kekayaan alam justru melahirkan ketidakadilan struktural.
Dimensi Yuridis: Regulasi yang Tumpul
Kerangka hukum pertambangan sebenarnya sudah cukup lengkap, mulai dari Undang-Undang Minerba hingga peraturan daerah. Namun implementasinya lemah.
Penegakan hukum terhadap penambangan ilegal sering kali parsial dan tebang pilih, sementara mafia timah mampu beradaptasi dengan celah hukum yang ada.
Ketidakjelasan tata niaga, mulai dari IUP (Izin Usaha Pertambangan) hingga mekanisme ekspor, membuka ruang bagi praktik penyelundupan.
Alhasil, negara kehilangan potensi penerimaan, sementara masyarakat hanya mendapatkan pekerjaan jangka pendek tanpa jaminan sosial.
Dimensi Filosofis: Antara Amanah dan Eksploitasi
Secara filosofis, timah mestinya dipandang sebagai amanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Namun realitas di lapangan menunjukkan pergeseran orientasi: dari amanah menjadi eksploitasi. Orientasi ekonomi jangka pendek mengalahkan visi keberlanjutan.
Padahal, masyarakat Bangka Belitung membutuhkan keadilan intergenerasional: timah bukan hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga untuk anak cucu mereka.
Tanpa tata kelola yang berkeadilan, Bangka Belitung hanya akan menjadi “museum lubang tambang” yang ditinggalkan investor dan menyisakan beban sosial bagi rakyatnya.
Mencari Jalan Baru: Hilirisasi dan Tata Niaga yang Bersih
Jalan keluar dari paradoks ini adalah reformasi tata kelola timah. Ada beberapa agenda strategis:
1. Hilirisasi – memperkuat industri pengolahan dan produk turunan timah agar nilai tambah tetap di dalam negeri.
2. Tata niaga transparan – melibatkan PT Timah, pemerintah pusat-daerah, dan masyarakat dalam sistem distribusi yang adil.
3. Penegakan hukum konsisten – memberantas mafia dan penyelundupan tanpa tebang pilih.
4. Diversifikasi ekonomi – membangun sektor alternatif seperti pariwisata, perikanan, dan industri kreatif agar masyarakat tidak bergantung pada timah semata.
5. Restorasi lingkungan – mewajibkan reklamasi pascatambang sebagai bagian dari tanggung jawab korporasi dan negara.
Penutup: Antara Berkah dan Kutukan
Timah telah menorehkan sejarah panjang bagi Bangka Belitung: dari kolonialisme, sentralisasi Orde Baru, hingga liberalisasi Reformasi. Namun satu hal belum berubah: rakyat lokal masih jauh dari kata sejahtera.
Kini, pilihan ada di tangan negara dan masyarakat: apakah timah akan terus menjadi kutukan yang melahirkan paradoks, ataukah menjadi berkah yang dikelola dengan adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.
Sejarah akan mencatat, apakah kita berani keluar dari lingkaran setan ini.(*)
Leave a Reply