“Pagi ini udara terasa pengap, pantas saja, sinar matahari tak menembus jendela kamarku, tertutup begitu rapat!”
“Mataku tak berniat terbuka, ingin menutup saja!”
“Tubuhku pun enggan bergerak, terbujur kaku, begitu saja inginku!”
“Entah apa yang merasukiku!” Semenjak peristiwa bulan lalu, diriku mulai berubah.
Panggilan ibu yang biasanya kuterima dengan suka cita, hari ini tak kujawab. Suasana menjadi lengang. Tapi, panggilan ibu semakin berulang, makin lama, teriakannya kian mengecil dan menghilang. Hanya kudengar sayup-sayup langkahnya yang kian menjauh.
“Ibu menyerah … dia pergi!”
Aku tak peduli, aku malas, aku tak mau lagi hidup, walau kata Chairil Anwar, Aku ingin hidup 1000 tahun lagi, yang menolak kematian. Entah mengapa aku berbeda hari ini. Lamunanku pun menjulang, diri mematung, terkenang memori yang silam.
“Tiba-tiba suara aneh terdengar di telingaku.”
“Apa itu, tanyaku dengan penuh penasaran.” Tapi … tidak … aku tak mau tahu, aku sudah memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat tidurku, aku ingin tetap diam, walau lapar mendesakku untuk bergerak, aku tak bergeming sedikitpun. “Aku ingin seperti ini saja!”
Suara itu kembali terdengar di telingaku, kini semakin keras, bahkan menggema sampai di hatiku. “Apa sih itu?” tanyaku dengan kejengkelan.
Akhirnya, dengan penuh paksaan, kugerakkan kedua kakiku dan kubuka mataku pelan-pelan, ternyata sinar matahari sudah menyentuh selimutku, yang tak kurasakan dari tadi. Suara burung gereja yang mencecit di balik jendela menjadi riuh di gendang telingaku. Apa ini? Tidak seperti biasanya. Tetapi, hatiku nyaris tak terlena, hatiku masih tertutup, hatiku masih beku!
Hanya saja … oh ya, tadi kan aku ingin mengetahui suara di balik jendela itu, bukan kumpulan burung gereja …, tetapi ada suara yang berbeda.
Suara sayup-sayup itu hilang! Sudah tidak ada lagi, penasaranku bertambah!
Tanpa kusadari, aku membuka pintu kamar, menjumpai ibu di dapur yang sedang bekerja keras membelah kayu bakar untuk memasak, sedangkan aku hanya tidur nyenyak seolah tak peduli.
Hatiku sedikit terenyuh, apalagi memandang wajah ibu yang bercucur keringat.
Namun, ego ku masih lebih tinggi daripada hatiku. Aku lewat begitu saja. Memang, langsung kucap diriku sebagai anak durhaka hari ini. Aku melihat di serambi depan rumah, dimana suara tadi terdengar. Sayangnya, karena kemalasanku, aku jadi tak mengetahui apa atau siapa itu.
Ketika hendak masuk kembali ke dalam rumah, mataku tertuju pada sehelai kertas kecil yang berada di lantai, dekat serambi rumah. Karena penasaran, segera aku mendekat dan mengambil kertas kecil itu, tampaknya sudah lusuh, barangkali diterpa hujan kecil yang datang tadi malam. Ketika kulihat, ada goresan tangan anak kecil, tulisannya berjarak, tak beraturan, juga tak rata, seperti ada perasaan yang barangkali sama seperti yang aku rasakan. Ku baca pelan-pelan. Tulisan itu berbunyi: “Ibu, aku indu, jangan pergi!”
Aku pun mulai berperan sebagai detektif, tumbuh rasa penasaranku, “aku ingin tahu!”
Sejenak beban hidupku hilang dari ingatanku, terpinggirkan dengan pertanyaan: Siapa yang menulis tulisan ini?
Kertas itu pun tak segera ku ambil. Kubiarkan terletak di tempatnya, dengan harapan, nanti yang memiliki kertas itu kemudian mengambilnya. Kutinggalkan sejenak rasa penasaranku. Aku masuk kembali ke dalam rumah, berjumpa ibu yang sedang memasak. Tanyaku, ibu masak apa? Masak kesukaanmu, “jangan lupa makan dulu ya,” jawab ibu dengan penuh kelmbutan dan perhatian kepadaku.”
Hatiku yang tadinya sedikit terenyuh, kini sudah hampir sebagian tergenang dengan air mata. Ternyata, ibu sangat memedulikanku. Sambil memakan makanan yang ibu buat, aku berkata kepada ibu agar tidak memindahkan kertas kecil yang ada di depan rumah. Ibu hanya tersenyum dan mengatakan: “iya nak”
Aku kembali ke kamar. Niatku yang tadinya mau tidur seperti beruang kutub di musim dingin kini sirna. Aku duduk di meja kamarku, sambil memikirkan siapa yang menuliskan di kertas kecil lusuh itu. Sontak aku berdiri memandangi sudut serambi rumah dari jendela kamarku. Rasa penasaranku mencuat, ingin tahu siapa yang menuliskan di kertas itu.
Tanpa sadar, matahari mulai terbenam, malam pun tiba. Aku masih mengamati kertas itu, menjaga agar tetap di tempatnya.
Doaku, semoga tidak tertiup angin. Sambil makan malam bersama ibu di meja makan, mataku tetap terjaga ke arah depan rumah. Setelah makan malam, aku masuk lagi ke kamar.
Mataku sudah sayup, seolah tak mampu lagi menjaga kesadaran. Aku terlelap, kini bukan lagi di tempat tidur, tetapi bersandar di meja kamarku. Hatiku lelah, mataku mulai terpejam.
Tiba-tiba terdengar dalam telingaku suara yang tak asing lagi kudengar. Aku mengira aku masih bermimpi. Tetapi tampaknya nyata. Aku langsung teringat akan situasi kemarin pagi. Mataku langsung terbuka, tubuhku pun langsung bangkit. Kakiku melangkah menuju jendela. Mataku mulai memandangi sudut serambi depan rumah, lewat celah-celah jendela.
Tampaklah sesosok anak kecil perempuan berbaju putih lusuh. Aku gemetar, apakah hantu! Aku mencoba melihat lagi dengan penuh perhatian. “Benar, itu bukan hantu, itu anak kecil!” Sambil mengamati anak itu, aku menatap jam dinding, menunjukkan pukul 03.00 WIB. Aku pun heran, pagi sekali, apakah kemarin juga, tanyaku”
Kuamati dari jendela kamarku, anak itu duduk di lantai sambil memegang kertas kecil yang tadi pagi kulihat. “Apakah dia pemiliknya,” tanyaku dalam hati.
Dengan langkah pelan, aku keluar dari kamarku dan beranjak menuju depan rumah. Kubuka pelan-pelan pintu rumah. Setelah terbuka, anak itu pun segera berdiri dan bermaksud untuk pergi. Lalu, aku menahannya dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Kamu siapa? Kenapa kamu di sini? Anak kecil itu hanya terdiam tak menjawab. Ketika ku tanya, kenapa kamu di sini, anak itu tetap diam, tetapi hatinya berbicara, lewat air mata yang mulai mengucur mengalir di pipi dan membasahi sekujur tubuhnya.
Hatiku terenyuh, sambil lanjut bertanya: “adik, kenapa kamu menangis?” Kakak minta maaf ya kalau kakak ada salah, kataku kepada anak kecil itu. Niat anak itu yang tadinya pergi kemudian diurungkan. Anak kecil itu malah pergi ke arahku dan langsung memelukku. Aku pun mematung, dengan penuh kebingungan dan penuh tanda tanya.
“Anak kecil itu tetap diam!” Dia hanya memperlihatkan kertas kecil itu.
Aku yang sudah membaca isi kertas itu kemudian membaca kembali. Masih tulisan yang sama dengan bunyi yang sama. Ketika aku hendak menanyakan maksud tulisan itu, tiba-tiba ibuku datang menghampiri kami.
Ibu, ibu terbangun ya, kataku yang sebenarnya tidak enak telah membuat ibu terbangun, barangkali mendengar suaraku yang agak keras tadi.
“Tidak, nak,” suaramu tidak membuat ibu terbangun, “tetapi suara tangis anak itu yang membangunkan ibu,” kata ibu dengan kelembutan.
“Oh, jadi ternyata ibu sudah bangun dari tadi?” tanyaku.
Iya nak, sebenarnya dari kemarin ibu sudah berjumpa dengan anak kecil ini. Kami bercakap, bercengkrama bersama di gelapnya malam. Ibu sedih karena anak ini yatim piatu, kedua orang tuanya sudah meninggal, saudara kandungnya pun tidak ada. “Dia tunawicara, tak mampu untuk berbicara seperti kita,” tambah ibu.
Jadi, bagaimana ini ibu, “apakah anak kecil ini boleh menjadi bagian dari keluarga kita?” “Apakah dia mau?” “Coba tanyakan ibu, kataku dengan penuh semangat!”
Ya, nak, justru ibu membiarkanmu untuk berjumpa dengan anak ini, meminta tanggapanmu, apakah kita mau menerimanya sebagai anggota keluarga kita. Semenjak ayahmu pergi, hanya kamu yang ibu punya, apalagi ditambah baru sebulan lalu, kita kehilangan adikmu yang tiba-tiba meninggal tanpa sebab, tak meninggalkan sedikit kata-kata untuk kita. Barangkali anak kecil ini titipan dari Tuhan untuk kita rawat. “Iya ibu,” sahutku.
Terjawablah sudah kenapa aku bersedih, oleh karena sang adik yang pergi begitu cepat, meninggalkan kami. Baru saja sebulan lalu, di waktu teriknya matahari, kami masih sempat main petak umpet di depan serambi rumah, tetapi ketika sorenya, dia memberitahu bahwa dia ingin istirahat, barangkali lelah bermain, tepat di kamarku, berbaring di tempat tidurku.
Yang menjadi kesedihanku, ketika malam menjelang, tepat ketika makan malam, kami membangunkannya, aku dan ibu, tetapi suara riang itu tidak terdengar lagi. Kami tidak tahu penyebab kematiannya, tak sempat juga diotopsi, karena permintaan ibu supaya langsung dimakamkan saja. “Mau diotopsi pun tak sanggup menghidupkannya,” kata ibu dengan penuh kesedihan.
Itulah mengapa hampir sebulan ini, ragaku lemah, tak berdaya, ingin berdiam di tempat tidur saja, “kalau bisa menyusul adik yang sudah berbahagia di sana,” kataku dalam situasi sedih itu.
“Aku menatap anak kecil yang polos itu, sambil bertanya, apakah kamu mau menjadi adikku? Tanyaku dengan penuh harap”
Anak itu hanya mengangguk tanda persetujuan untuk menjadi anggota keluarga kami.
Tumbuh semangat baru dalam diriku dan ibu, tanpa sadar pagi sudah menjelang. Ayam tetangga berkokok tiada henti, seolah ikut menyambut pagi dan menyambut perasaan sukacita kami.
Tanpa berpikir lama, ibu membawa anak itu ke kamar mandi, memandikan anak kecil itu dengan penuh kelembutan. Tampaknya usia anak itu 5 tahunan. Setelah mandi, kami sarapan bersama. Sebelum sarapan, aku, ibu, dan adikku yang baru berpelukan, sambil kukatakan, jangan pergi lagi ya …
Seolah mengetahui isi hati anak kecil itu, mulut anak kecil itu ingin mengucapkan sesuatu, tangannya pun bergerak, menunjuk pada isyarat: Ibu, kakak, terima kasih sudah mau merawatku.
“Aku ingin menjadi anak dan adik yang baik untuk keluarga ini,” sahut anak kecil itu.
Tangis kami pecah, sampai tak sadar lagi, nasi yang ibu masak gosong dan kami harus masak nasi lagi. Kami pun hanya bisa tertawa. (*)
Leave a Reply