MANUSIA baik dan atau tidak baik pasti ada pasca “tanaazul”- nya di biosfir bumi. Kelompok pertama disebut sadar, dan adapun yang kedua, disebut non-sadar . Manusia non-sadar disetarakan dengan makhluk lain. Berada di kelompok mana kita yang hidup di era kontemporer ?
Dalam konteks kebaikan dan sebaliknya kejahatan terjadi pada manusia sadar, namun tidak dapat dipertimbangkan untuk manusia non-sadar. Seseorang dalam pengalaman hidupnya bisa saja bermula dari berbuat baik lalu berbuat jahat. Sebaliknya bisa ia bermula dari berbuat jahat, lalu sadar. Mungkinkah dua sikap yang bertolak belakang itu menyatu dalam diri manusia? Harapannya, manusia dapat meminimalisir yang tidak baik menuju sosok yang baik. Dalam perspektif numerik Al-Qur’an usia 47 tahun ( QS.Muhammad) adalah batas karakter manusia antara baik dan jahat. Bila seseorang terbiasa dengan perbuatan tertentu hingga usia 47, maka ia dipastikan sulit berubah atau beralih ke karakter berlawanan dari sebelumnya.
Sejak awal tanaazul manusia sebenarnya etika muncul bersamaan dengan kesadaran, menjadi mode eksistensi, disebut ,”Mode Spiritual”; hanya ada pada manusia sadar, tapi tidak ditemukan pada manusia non-sadar dan juga makhluk lain yang serupa. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan orientasi materi keduniaan yang pragmatis.
Mode spiritual menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk sadar tertinggi sehingga disebut beradab dan berperadaban (civilized/ madaniyyun). Berikutnya normativitas keagamaan menyentuhkan manusia agar terarah dan menjadi religius apapun agama atau keyakinan yang dipilih. Dan Islam adalah agama samawi yang hadir terakhir untuk tujuan menyempurnakan. Terkadang pihak tertentu mempertanyakan; seseorang beragama (rajin beribadah), tapi akhlak atau etikanya terhadap sesama tidak baik? Sebaliknya, ada juga yang sangat moralis, tapi ia tidak menunaikan kewajiban agamanya?
Sebagai hamba Allah yang beragama, setiap orang mesti meningkatkan eksistensi dirinya dengan mode spiritual; adanya kekuatan kepribadian dan integritas diri. Bila demikian, maka dipastikan ia sentuhkan kebaikan kepada orang disekitarnya. Pimpinan definitif, apakah ia presiden, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR/ MPR, yudikatif, juga pejabat tertentu diharapkan memiliki predikat tersebut karena ia adalah orang pilihan, baik diajukan/ ditetapkan maupun sengaja mengajukan diri/ mencalonkan diri untuk dipilih seperti para calon kepala daerah, pastinya mereka tidak sebatas ada ( human being) melainkan harus memiliki eksistensi diri (mode spiritual) dan bekal serta kesadaran agama yang kuat. Kebalikannya, di usia 74 (QS Al-Muzzammil), seseorang diharapkan sudah merenung, dan tidak disibukkan oleh urusan keduniaan. Bila demikian, maka akan capai predikat husnul-khaatimah.
Bagaimana kemudian bila orang tersebut bergeser, berubah bahkan menyimpang ( keluar dari titik kesadaran dan mode spiritual) serta nilai-nilai agama? Fenomena yang akhir- akhir ini cukup mengusik masyarakat: tuduhan ijazah palsu, dugaan adanya plagiarisme karya ilmiah di perguruan tinggi tertentu, asumsi pecah kongsi kepala daerah, wacana pemakzulan wapres dan semacamnya mengindikasikan hal tersebut. Mengapa terus berlangsung? –sangat-sangat mengganggu titik kesadaran dan kadar religiusitas kita sebagai manusia sadar yang berperadaban. Lagi lagi kasus tuduhan pelecehan seksual oleh tokoh yang diapresiasi memiliki otoritas keagamaan, pastinya tidak ada setitik pun mode spiritual dalam dirinya bahkan dianggap tidak beragama. Mungkin mereka berada pada titik materi keduniaan! Manusia bisa diapresiasi oleh manusia lainnya bahkan diangkat derajatnya oleh Tuhan, Allah Swt. sekalipun ia adalah makhluk ( yang diciptakan), sebagaimana ditegaskan-Nya terhadap manusia tertentu. Lihat QS.Maryam (19) dalam beberapa ayat tertentu. Idris as.misalnya sebagai orang jujur dan nabi yang diposisikan di tempat tinggi oleh Allah Swt. Mari kita meneladani mereka dengan tawaran penguatan mode spiritual dan sentuhan agama sehingga menjadi manusia sadar–sangat sadar ( sadar tertinggi) bagaikan orang-orang bijak di biosfir bumi. Wassalam. (*)
Leave a Reply