PANGKALPINANG, LASPELA – Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengadakan pertemuan bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang dalam rangka menindaklanjuti keluhan masyarakat terkait pembelian kolektif dan penggunaan buku teks pendamping berupa buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Buku Bupena di sekolah negeri di Kota Pangkalpinang, Rabu (23/7/2025) di Ruang Pertemuan Kantor Perwakilan Ombudsman Babel.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh Erwandy selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang, Irban III Inspektorat Daerah Kota Pangkalpinang, Rosdiana, dan Auditor Madya Inspektorat Daerah Kota Pangkalpinang Kurniatiharini serta Novian Yuspandi selaku
Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kepulauan Bangka Belitung Shulby Yozar Ariadhy mengatakan beberapa orang tua dari beberapa sekolah di Pangkalpinang telah mengeluhkan terkait penggunaan buku LKS dan Bupena.
“Mereka menyampaikan bahwa buku-buku dimaksud seakan terkesan wajib dibeli karena seolah dijadikan media pembelajaran utama di sekolah serta harganya cukup mahal,” ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, pihaknya menyampaikan bahwa penggunaan buku LKS atau Bupena itu boleh digunakan, yang dilarang itu adalah transaksi titip-jual secara kolektif di sekolah sesuai dengan Pasal 181 huruf a PP No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 50 Perda Kota Pangkalpinang Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan termasuk lewat komite juga dilarang sebagaimana pasal 198 PP No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 12 Permendikbud 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Sehingga, yang perlu kita benahi adalah tata cara pengadaannya dan tata kelola kegiatan belajar mengajar di kelas. Intinya, sekolah maupun komite tidak boleh jadi tempat transaksi titip-jual buku LKS atau Bupena,” kata Yozar.
Lebih lanjut Yozar menjelaskan bahwa pada prinsipnya, sesuai penamaannya buku LKS atau Lembar Kerja Siswa atau Lembar Kerja Peserta Didik itu akan jauh lebih baik disusun oleh guru kemudian disebarkan kepada siswa dalam format cetak manual ataupun digital.
“Tentunya hal ini akan menjadi budaya positif karena sekaligus meningkatkan kreatifitas guru sebagai insan pembelajar sepanjang hayat,” jelasnya.
Namun, Yozar mengingatkan apabila hal itu tidak memungkinkan dilakukan maka silakan guru saja yang menggunakan buku LKS tersebut sebagai pedoman tambahan mengajar di kelas.
“Artinya tidak ada unsur mengarahkan menjadi wajib membeli atau dibebankan ke siswa, jika ada tugas untuk siswa dikerjakan dirumah silakan guru tulis di papan tulis, atau komunikasikan bersama soal-soal atau tugas tersebut melalui grup WhatsApp orangtua siswa atau juga bisa melalui media kreatif lainnya yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi,” terangnya.
Terkecuali misalnya ada orangtua siswa yang mau membeli buku pendamping tersebut secara mandiri untuk anaknya sendiri di toko buku dan hal tersebut tentu tidak menjadi masalah.
“Sehingga jelas ya, bahwa yang menjadi masalah adalah proses titip-jual buku tersebut dilakukan bertempat di sekolah dan secara kolektif, kita nggak mau sekolah ada tugas lain seperti itu di luar tugas fungsinya yang diamanahkan Undang-Undang. Ini perlu kita tindaklanjuti dan kolaborasi bersama Dinas Pendidikan serta pihak lainnya,” tambah Yozar.
Senada, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang Erwandy menyampaikan bahwa pihaknya selalu mengingatkan pihak sekolah baik guru, tenaga pendidik dan komite tidak boleh mengkoordinir pembelian buku LKS atau sejenisnya.
Sehingga dirinya meminta kerjasama yang baik kepada seluruh kepala sekolah yang ada di Kota Pangkalpinang.
“Oleh karena itu, kami siap mengikuti rekomendasi Ombudsman untuk segera menerbitkan surat edaran resmi terkait larangan penjualan buku LKS di sekolah dan juga memberikan arahan kepada seluruh sekolah di Pangkalpinang untuk tidak mewajibkan penggunaan buku teks pendamping dalam proses KBM. Kita akan gunakan peraturan disiplin ASN jika ada yang melanggar,” tegasnya.
Di sisi lain, Ombudsman Babel turut menyoroti aspek tata kelola penggalangan dana pendidikan yang dilakukan melalui komite sekolah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (4) Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, disebutkan bahwa penggalangan dana oleh komite yang bersumber dari orang tua/wali murid seharusnya dikelola melalui rekening bersama antara komite dan sekolah.
Oleh karena itu, Ombudsman juga meminta agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Pangkalpinang menerbitkan surat edaran kepada seluruh kepala sekolah negeri dan komite sekolah agar segera memiliki rekening bersama guna mempermudah jika ada orangtua siswa yang ingin membantu dan berpartisipasi dalam memajukan sekolah melalui sumbangan yang tidak mengikat.
Hal ini bertujuan agar dapat tercipta kepercayaan publik karena proses penggalangan dana oleh Komite Sekolah telah memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga diharapkan dapat meminimalisasi potensi pungutan liar di dunia pendidikan.
Pertemuan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam memperkuat pengawasan dan tata kelola pelayanan pendidikan yang lebih progresif di Kota Pangkalpinang, demi menciptakan sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan bebas dari beban tambahan yang tidak semestinya dibebankan kepada orang tua/wali murid. (chu)
Leave a Reply