Komisi III DPRD Babel Soroti Polemik 2 Unit KIP di Laut Rajik-Permis

Avatar photo
Penulis: Nopranda PutraEditor: Admin Laspela
kapal isap produksi (KIP) di perairan laut Rajik Permis, Simpang Rimba, Bangka Selatan

PANGKALPINANG, LASPELA – DPRD Bangka Belitung menyoroti adanya dugaan 2  unit kapal isap produksi (KIP) di perairan laut Rajik Permis, Simpang Rimba, Bangka Selatan yang diduga telah meresahkan masyarakat nelayan sekitar.

Kedua KIP, Pirat 1 dan Isamar, ini dioperasionalkan oleh  PT Synergy Maju Bersama mengganggu aktivitas nelayan tradisonal yang hendak melaut. Selain itu, masyarakat juga sepenuhnya belum mendapatkan manfaat dari aktifitas penambangan yang dilakukan kedua kapal isap produksi tersebut.
Anggota Komisi III DPRD Bangka Belitung, Yogi Maulana menyebutkan pihaknya akan mengecek dan memanggil perusahaan tersebut dalam waktu dekat ini.
“Akan kami cek, mungkin nanti kami akan panggil pihak perusahaan saat ini
lagi dibuat surat pemanggilan mudah-mudahan (perusahaan) kooperatif,” kata Yogi saat dihubungi media ini, Selasa (22/7/2025).
Diberitakan sebelumnya, masyarakat nelayan sekitar resah adanya keberadaan KIP di wilayah tangkap ikan sejak 2023 silam.
“Masalah ini sudah kami alami sejak tahun 2023 Pak. Kami nelayan jaring merasa terganggu dengan keberadaan PIP karena lokasi kapal itu beroperasi adalah tempat kami biasa menjaring ikan,” kata Sal, seorang  nelayan kepada media ini di warung di pinggir Pantai Desa Rajik Minggu 20 Juli 2025.
Sal dan beberapa nelayan lainnya yang baru pulang menangkap ikan duduk di warung tersebut melihat beberapa warga desa lainnya yang akan pergi ke laut. Tapi warga yang dulunya adalah nelayan ini, kata Sal, pergi ke laut bukan untuk menangkap ikan tapi pergi menjaga ponton ponton TI yang banyak terlihat di laut, tidak berapa jauh dari dua kapal isap milik PT MSB.
“Aktifitas kapal yang kadang beroperasi dan lebih sering  hanya seperti memanaskan mesin kapal karena hanya berputar putar di sekitar tempat mereka diam itu menyebabkan air laut kotor dan ini pasti menganggu hidup ikan. Makanya saya hanya mendapat sedikit ikan, setiap kali melaut,” katanya sambil memperlihatkan hasil tangkapannya berupa belasan ekor kepiting ukuran tiga jari orang dewasa dan beberapa ekor ikan lainnya.
Hal inilah, kata nelayan lainnya, yang menyebabkan warga beralih melakukan aktifitas penambangan laut dengan mengunakan TI Rajuk. “Teman teman tu sekarang sedang menunggu kapal untuk membawa mereka ke ponton ponton itu untuk jaga malam,” katanya.
Saat ditanyakan kenapa warga membuka TI kan ada kapal isap, warga tersebut hampir secara bersamaan menyatakan bahwa keberadaan KIP itu tidak membawa manfaat bagi masyarakat.
“Sosialisasi tidak ada dan konpensasi tidak jelas. Berapa dana yang masuk ke desa, tidak kita ketahui dan hanya aparat aparat desa itulah yang mengetahui. Memang terdengar ada tapi jumlahnya tidak diketahui secara pasti dan angka yang disebutkan itu tidak sebanding dengan hasil tambang timah dari kapal itu yang katanya ratusan ton,” kata Sal lagi.
Ketika disinggung tentang bongkar muat hasil tambang dari KIP tersebut, beberapa nelayan termasuk Giman pemilik warung tempat kami berkumpul mengaku sejak dua tahun lalu tidak pernah melihat lagi aktifitas pengangkutan timah itu.
“Dua tahun lalu masih ada aktifitas bongkar muat, baik itu hasil tambang ataupun pengangkutan BBM . Tapi sekarang tidak terlihat lagi,” kata Giman.
Bukan Hasil Produksi KIP
Informasi lain yang diperoleh media ini menyebutkan bahwa KIP Pirat 1 dan Isamar itu tidak selalu melakukan aktifitas penambangan tapi lebih banyak berperan sebagai penampung hasil tambang timah dari kolektor.
“KIP itu diduga hanya sebagai kedok karena cuma sesekali beroperasi tapi jumlah pasir timah produksinya lebih 1000 ton per tahun. Darimana timah sebanyak itu, tidak diketahui secara pasti” kata sumber media ini.
Menurut sumber,  KIP ini beroperasi di area IUP Pemerintah Daerah Bangka Selatan diduga menampung timah dari kolektor lalu diakui sebagai produksi mereka. “KIP itu hanya tipu tipu termasuk juga tentang kompensasi terhadap masyarakat dan desa,” katanya.
PT SMB diduga membeli timah dari kolektor, kemudian mengklaimnya sebagai hasil produksi KIP di Laut Permis. Asal-usul timah tersebut tidak jelas, menimbulkan pertanyaan tentang legalitasnya.
“Hebat KIP di Laut Permis tuh, nggak jalan tapi menghasilkan timah puluhan ton,” ujarnya.
Ia menduga Laut Permis hanya kamuflase PT SMB untuk melegalkan timah hasil pembelian di  IUP Pemda Bangka Selatan. Pertanyaan tentang tujuan pengiriman dan proses peleburan timah tersebut juga belum terjawab. Transparansi dari perusahaan dan perlunya aparat penegak hukum (APH) terlibat dalam kegiatan KIP yang tidak transparan tersebut.
“Terhadap masyarakat kecil yang ber TI, APH cepat bertindak dengan melakukan razia. Bentar di razia sebentar-sebentar di stop, di kejar, dicari, ada yang di tangkap, dikit-dikit sebut ilegal dan berwajah sangar. Tapi giliran ini ada yang sudah jelas salah, tidak diusut. Ini sama saja membiarkan kejahatan dan korupsi besar, pura-pura buta,” kata beberapa  warga.
Warga yang ditemui di beberapa tempat di Pantai Desa Rajik itu  juga menuntut agar aktivitas KIP diperiksa secara menyeluruh, termasuk produksi pasir timah, ekspor, dan tujuan  pengirimannya. “Kampung kami hanya kambing hitam pengusaha, kalau bahasa kampungnya, tipu-tipulah kami orang kampung ni,” kata warga yang sekaligus berharap KIP tersebut minggat dari desa mereka.
Sementara salah satu pimpinan di PT SMB yang diketahui bernama Senja dan disebut sebut sebagai Komisaris di PT SMB ketika dihubungi ke nomor HP, 0822 80xx 0xx4, diduga miliknya,  sekitar sekitar pukul 21.30 Minggu (20/7/2025) tentang keberadaan dan operasional KIP belum memberikan jawaban hingga berita ini dipublikasikan. (Pra)

Leave a Reply