Cerpen  

Orang Kedua

Oleh : Nurul Yogyakarta, Medio Juli 2025

Avatar photo

SENJA ini sunyi. Sesunyi jiwaku yang merana. Tanpa pasti khayalku mengarah kemana. Menggantung. Mengambang. Serampangan. Aku tersadar hari sudah mulai senja. Senja di sini berkabut. Di sana gelap sekali. Sepi sungguh terasa. Ingin kutatap sesuatu, wanitaku yang ada persis di sisiku, tetapi semuanya terasa hampa. Sepertinya sia- sia. Tanpa apa-apa. Tanpa suara. Tanpa tawa.

 

Di sudut café sebuah perusahaan grosir kota ini hanya kami berdua, aku bersama wanitaku. Sekali lagi hening berkata. Tanpa berita. Berucap di balik telinga. Memeluk tubuh. Mengelus kuduk. Jam di sana berdetak. Sunyi memekar tanpa apa. Tanpa sesuatu. Aku bergulat dengan diri dan pikiranku, ketidaktenanganku sendiri. Aku lelap dalam kesendirian jiwaku, tanpa terasa ada wanitaku di sampingku. Aku bergulat dengan rasaku.

***

Sinar mentari mulai tenggelam. Kelap kelip lampu café menghiasi jumpaku dengan wanitaku, yang kala itu sepakat untuk membuat janji dan komitmen. Janji dan komitmen akan rasa kami yang mulai tumbuh dan bersemi. Lalu kulihat dia yang masih setia di sisiku. Seonggok tubuh halus yang terkesan rapuh. Rambutnya yang panjang terurai. Apakah dia ini isteriku? Apakah dia orang keduaku, istilah yang laris di kota ini ? Sebuah tanya yang mengundang gejolak.

 

Pertanyaan itu langsung menjajah pikiranku. Untaian kata itu yang lalu menggaung dalam kelam nubariku. Apakah dia itu istriku?  Apakah dia kosong keduaku ? Pertanyaan yang sama menggema. Dan selalu, pertanyaan ini muncul setiap kali aku terbangun ketika matahari menguasai siang.

Aku bosan. Aku muak. Aku sudah mulai lelah. Jiwaku rapuh seperti sebentang pantai resah, yang rusuh diterjang gelombang karena dibekap badai kekal. Aku tidak pernah tenang, apa lagi tenteram.

Binar matanya membahasakan dirinya yang tak berdaya dalam sayu lembut pancarannya. Ia pun turut terjaga setelah aku lama terpaku di sudut kafe, bertualang bersama diriku sendiri.

“Sayang…..jujur, ada rasa sayang, tetapi butuh waktu. Aku masih ragu dengan dirimu ?

suaranya lembut memecah keheningan atas bungkamku yang sepi.

“Aku ragu, setelah kamu mendapatkan semua dari diriku, kamu tinggalin aku, kamu pergi karena tugas. Rasa itu mulai tumbuh, aku akan selalu menjaga rasamu, menjaga hatiku untukmu,” lanjutnya sambil menyantap menu kentang goreng pesanannya.

“Apa janji dan komitmenmu untukku ? Rentetan pertanyaan ini muncul, mengalir dari mulut manisnya. Sayangnya, pertanyaan itu yang selalu rutin diulang setiap kali bersua. Hal ini makin mempertebal gejolakku. Menyuburkan dilemma rasaku.

 

Aku masih membisu. Tetap duduk, tepat berada di sisinya. Laki-laki memang egois. Ia lebih asyik dengan dirinya sendiri. Ia  justru lebih senang memikirkan dirinya dan bergulat dengan pikirannya, tanpa peduli bahkan dengan orang yang hanya berada beberapa inci jauhnya daripadanya.

“Apa janjimu dan komitmenmu ?

Wanita itu terus mengoceh. Terus. Lagi. Dan lagi.

Lalu Plakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!!!

Suara itu lalu menciptakan sunyi yang agung. Tanpa sadar, dengan spontan, tanganku terayun dan tepat mendarat di wajahnya. Aku menamparnya. Aku menampar dengan tangan yang dibalut rasa bosan, kesal bercampur penyesalan.

Penyesalan mendalam kemudian merambati jiwaku. Wanita itu terkulai lemas. Kesegaran yang dicurinya dari malam ketika beristirahat tadi lalu hilang lenyap ditelan diam agung yang tercipta itu. Isaknya penuh kesedihan lalu mengiringi air matanya yang menetes dari pelupuk indah matanya.

Tidak seharusnya aku bersikap demikian. Namun benar. Tubuhku ini hanya menerima isyarat nurani yang keras berontak. Aku bosan terhadapnya, karena ketika kesegaran itu sementara kunikmati, ia lalu serta-merta membebaniku dengan kata-kata manis yang sebenarnya menyobek hatiku. Pedih dan sakit.

Aku sementara muak lalu ia muncul dan memicu kejenuhanku lagi. Tangan ini sigap dan lancang menampar. Pipinya kemudian terlanjur merona. Sakit hati langsung saja menganga terbuka. Persetan!

***

Memang terlalu cepat hubungan yang kami rajut. Aku datang di kota ini, tanpa sengaja bersua dengan dirinya, lalu langsung bersemi rasa. Secepat tanganku yang terayun menampar pipinya.

Setelah berkenalan, kami langsung menjalin hubungan terlarang yang di kota ini dikenal dengan orang kedua.

Tanpa pertimbangan, seminggu kemudian, kami sudah tinggal serumah.. Ia pindah dari kostnya dan tinggal sekost denganku. Kami memang tidak peduli pada dunia. Karena memang dunia juga tidak peduli dengan apa yang terjadi antara kami. Semua mengurus dirinya masing-masing. Termasuk ibu kost pun tak banyak mencaritahu status hubungan kami. Yang penting biaya kost selalu diterimanya tepat waktu. Kami lalu tinggal berdua. Ada pada kami hayalan cinta. Sebuah cinta kilat dan terbuai oleh kenikmatan cinta. Atas nama cinta itu kami nekat hidup bersama.

Hari-hari kami lalui bersama. Kesempatan yang ada kami pakai bersama. Hanya kami berdua.

Suami wanitaku tak tahu kalau kami berdua sudah hidup bersama, serumah, sekamar. Kami merahasiakan semuanya. Bahkan teman-teman seasalku dan kawan sekampung wanitaku pun tak peduli, meski mereka tahu dan sering keluar masuk di kost kami berdua.

Kami senang dan bangga hidup atas nama cinta.  Terserah apa kata orang. Tak menghiraukan segala aturan moral dan etika. Karena ternyata kami yang memikul beban hidup kami. Aku dan wanitaku. Persetan dengan semua norma dan aturan. Aku hanya mau hidup, hidup dengan perempuanku. Hidup dengan kosong duaku. Sekiranya itu yang aku pikirkan dulu!

Lama-kelamaan kebosanan datang menghampiriku. Kejenuhan pun tak luput hinggap atas diriku. Ternyata hidup tanpa ikatan itu sulit. Omelan dunia yang selalu aku hindari, justeru meremas jiwaku sendiri. Sungguh rumit hidup berseberangan dengan norma.

Aku muak hidup sendiri. Aku capek hidup menyimpang. Litani penderitaan itu pun tercipta dan mulai mendera kelanjutan hidupku. Yang memuncak di senja menjelang malam.

Ketika kesegaran seharusnya merambati jiwaku. Ketika fajar selalu menjadi pertanda hidup bahagia bagi kebanyakan orang. Malah ternyata berganti kekalutan yang mengobarkan amarah lalu rasa belas kasih hangus. Dan tangan itu terayun cepat. Lebih cepat dari matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.

Sungguh mengerikan membangun sebuah cinta terlarang. Karena setiap kesegaran dan kecerahan pagi adalah kabut yang kelabu untuk dihidupi. Karena aku dan wanitaku menghidupi cinta terlarang. Tapi perlahan kami mulai menyiram dan menyuburkan rasa ini. (*)

Leave a Reply