Opini  

Menjadi ‘Urang Kampoeng’

Rusydi Sulaiman, Direktur Madania Center & Guru Besar dalam Kepakaran Bidang Pengkajian Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

Rusydi Sulaiman

Kampung selalu diidentikkan dengan kemunduran, keterbelakangan dan ketidakmajuan karena secara geografis letaknya jauh dari kota dan atau karena faktor lain sehingga di-label demikian.

Terkadang orang kampung dan siapapun disebut,”kampung-an” karena dianggap tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi tertentu; kolot, ketinggalan zaman (out of date) dan semacamnya.

Stigma tersebut sebenarnya terkait dengan pemahaman kita tentang eksistensi kebudayaan (Culture) dan peradaban (Civilization).

Bila sebuah peradaban sebagai bagian dari kebudayaan muncul dalam wujud ideal, maka gagasan, pemikiran, opini bahkan idealisme dan ideologi tertentu bersumber dari orang-orang besar di kampung.

Bila nilai-nilai kearifan lokal yang dilekatkan pada orang-orang tertentu sehingga mereka disebut berperadaban atau masyarakat terdidik (Civilized- people) dan atau masyarakat Madani (Civil society), maka sumbernya ada wilayah tertentu yang disebut kampung, kemudian mengalami persentuhan dengan pengaruh luar, tapi nilai-nilai tersebut tetap dominan dan kemudian menjadi pijakan masyarakat.

Maka dari itu pulanglah ke kampung dan mesti bangga menjadi orang kampung.

Kota yang diobsesikan orang karena sempat menjadi pusat peradaban, belakangan sangat menyedihkan.

Perbuatan menyimpang seperti pencurian, perampokan, pembegalan, penipuan, bahkan akhir-akhir ini muncul fenomena tawuran antar pelajar yang mewarnai kota-kota besar di negeri ini.

Penduduk kota yang diidealisasikan menjadi,” al-Madiinah al-Faadhilah (negara utama) secara bertahap menjadi,” al-Madiinah al-Jaahilah” (negara bodoh).

Lebih spesifik, suasana kota di sekitar kita, “crowded community”, gaduh sehingga sangat memuakkan. Masihkah ingin kita menjadi orang kota?

Kota yang awalnya menjadi tujuan peradaban karena berpusat didalamnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi berubah menjadi tidak substansial.

Supremasi tersebut disalahartikan, berubah menjadi peniruan fisik belaka. Semestinya objektifikasi terhadap kemajuan pihak Barat yang dulunya bersumber dari Islam, bukan kemudian westernisasi, yaitu mem-Barat- kan ( meniru secara fisik) yang bertolak belakang dengan agama sebagai pijakan etik berkemanusiaan.

Wujud-wujud budaya berupa wujud ideal (mawaahib ‘aqliyah) dan wujud kelakuan (khashaa’ish adabiyah) serta wujud material peradaban (al-Imkaanaat al-Maadiyah) kesemuanya berawal dari wilayah, disebut “kampung”, dulunya ,”Kampoeng”, Menjadi,” Urang Kampoeng”.

Bisa jadi kata kampung terderivasi dari kata,”Kam” atau “camp”, tempat penampungan atau tempat berkumpul orang, ditambah imbuhan,”ung”, berarti agung. Jadi kampung, dimaknai sebagai tempat atau kawasan agung, mencerminkan hal-hal positif, bukan sebaliknya.

Bila istilah kampung dinisbatkan dengan kata dalam Bahasa Arab,”qoryatun”, sebuah wilayah terkait dengan perilaku penduduknya.

Bentuk pluralnya adalah “Quraa”, menjadi,”Ahlul-Quraa”, berarti penduduk negeri atau kampung.

Sebagaimana disebutkan dalam QS.Al-A’raf (7):96), Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami bukakan kepada mereka banyak keberkahan dari langit dan bumi.

Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan oleh perbuatannya”.

Kota yang kondisinya semakin rumit (complicated) dan menyesakkan dada diharapkan seperti kampung yang identik dengan kebaikan penduduknya.

Kampung adalah wilayah yang sesungguhnya dituju, bukan kota dalam pengertian,”al-Madiinah al-Jaahilah”, melainkan kota harus diwarnai oleh orang kampung sehingga menjadi,” al-Madiinah al-Faadhilah sebagaimana digagas Al-Farabi, filosuf muslim masa lalu.

Mari menjadi ” Urang Kampoeng” yang sesungguhnya”, dan kita harus bangga dengan kampung tersebut. “Act locally, think globally”, tetap tinggal di kampung, tapi berwawasan global meraih supremasi peradaban.Wassalam.(*)

Leave a Reply