JAKARTA, LASPELA — Sejak tahun 2020 pemerintah secara bertahap melakukan hilirisasi dengan mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel, selain itu juga sedang dikembangkan hilirisasi bauksit, timah, dan tembaga.
Namun Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai regulasi yang berlaku saat ini belum sepenuhnya mendukung realisasi kebijakan hilirisasi mineral.
Anggota DPR RI Dapil Bangka Belitung, Bambang Patijaya mengatakan, dalam mempercepat pelaksanaan hilirisasi di sektor pertambangan khususnya mineral membutuhkan dukungan dari segi fiskal, salah satunya pemberlakuan PPN 11 persen pada produk mineral setengah jadi.
Kebijakan itu, kata Bambang, sebaiknya ditinjau kembali industri dalam negeri yang mau memakai produk turunan mineral dikenakan PPN 11 persen, sementara ketika diekspor tidak dikenakan tarif sama sekali. kebijakan tersebut dinilai akan melemahkan daya saing industri dalam negeri, namun justru memperkuat daya saing industri negara lain.
“Saya sering menyampaikan hal ini bahwa untuk menguraikan persoalan bagaimana mengakselerasikan hilirisasi salah satunya harus ada terobosan,” kata Bambang, Kamis (14/3/2024).
“Untuk persoalan regulasi fiskal harus dicarikan solusi terobosan, tidak bisa serta merta lalu dikenakan PPN 11 persen, dan juga jangan menyederhanakan masalah. Misalkan orang pajak bilang itu kan bisa restitusi? itu tidak menarik. Yang betul itu hapus saja PPN 11 persen di dalam negeri, sehingga barang-barang kita memiliki daya kompetitif,” jelasnya.
Dikatakannya, kebijakan larangan ekspor timah sejak Juni 2023 mengancam perekonomian Kepulauan Bangka Belitung menjadi anjlok. Pasalnya timah merupakan komoditas utama ekspor Kepulauan babel selama ini. (*/mah)