JAKARTA, LASPELA – Sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia, hingga saat ini Indonesia belum dapat menjadi sarana pembentukan harga standar/acuan komoditas CPO. Hal ini kemudian berdampak bagi keseimbangan penawaran dan permintaan di dalam negeri (pembentukan harga, acuan harga dan lindung nilai). Hampir setiap daerah di Indonesia tidak memiliki refrensi dalam menentukan harga acuan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani, termasuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sendiri.
Terkait hal tersebut, Pansus DPRD Babel urusan Stabilitas Harga Tandan Buah Segar Sawit dan Syarat Perizinan Perkebunan Sawit di Babel yang diketuai oleh Aksan Visyawan kembali melakukan studi komprehensif ke PT. KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara), Jakarta, Selasa (5/9/23). Tujuannya guna memgumpulkan data dan informasi dalam pembentukan harga TBS, yang bertempat di ruang serbaguna PT. KPBN.
Hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Ketua Pansus, Eka Budhiarta, Wakil Ketua DPRD Babel, Heryawandi dan Beliadi, anggota Pansus, Mulyadi, Azwari Helmi, Hendriyansen, Warkamni, Efredi Effendy, Mansah, dan Arbiyanto serta perwakilan Dinas Pertanian Babel.
Aksan mengatakan, nantinya pansus ini dapat mengeluarkan sebuah regulasi yang dapat memberikan manfaat dalam menyelamatkan harga TBS di tingkat petani agar sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan pemerintah. Dia tidak mau para pemilik pabrik kelapa sawit (PKS) seenak-enaknya memainkan harga dalam membeli TBS petani.
“Ketika sudah diputuskan harga penetapan kelapa sawit dalam keputusan bersama harus dipatuhi bersama,” ujar Aksan.
Untuk itu, pansus berkeinginan mendapatkan data harga CPO yang dikeluarkan oleh PT. KPBN untuk dijadikan harga refrensi fluktuatif CPO. Nantinya, Pemprov Babel mempunyai satu acuan yang baku dalam menentukan harga TBS dan tidak dipermainkan oleh korporasi-korporasi besar kelapa sawit yang ada di Babel.
Di kesempatan yang sama Wakil Ketua Pansus, Eka Budhiarta juga mengatakan bahwa data merupakan komponen yang sangat penting dalam melakukan penentuan harga TBS. Saat ini, Babel melalui Dinas Pertanian hanya mengeluarkan harga acuan TBS 1 kali setiap bulannya.
“Saat ini dalam melakukan penetapan harga TBS kami mengacu pada beberapa parameter, pertama jumlah penjualan CPO yang dilakukan oleh seluruh PKS yang ada di Babel dan total perjualan kernel,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur PT. KPBN, Rahmanto Amin Jatmiko menyampaikan bahwa PT. KPBN hanya melakukan pelelangan CPO dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil/minyak inti sawit kasar) milik sendiri (PT. PN/Perkebunan Nusantara) setiap harinya. Harga awal ditentukan melalui rapat dewan direksi PT. PN dengan mengacu pada harga refrensi CPO Malaysia dan Rotterdam.
“Hasil lelang inilah yang kemudian menjadi harga acuan komoditas (CPO dan lainnya) Indonesia untuk di publish pada media internal dan eksternal (bloomberg dan Reuters),” ungkapnya.
Sebagai produsen CPO dan CPKO terbesar dunia (±51 juta ton/tahun), Rahmanto menjelaskan bahwa Indonesia tidak memiliki harga acuan sendiri seperti Malaysia yang hanya memproduksi ±18 juta ton/tahun dan Belanda. Sementara itu, pendapatan terbesar PT. PN berasal dari komoditi utama (CPO & Gula), yakni sebesar 70% sisanya karet, kopi, teh, dan kakau. PT. PN sendiri saat ini memproduksi ± 2,7 juta ton setiap tahunnya.
“Inilah yang saat ini sedang kita usahakan bersama Kemenko Marves dan mulai bulan November 2022 kemarin kita sudah menjalin kerjasama dengan bloomberg dan reuters terkait harga CPO KPBN,” ungkap Rahmanto.
“Untuk itulah kita harus mempunyai suatu tata kelola penjualan yang optimal dan transparan dengan sistem tender,” tutupnya.
Untuk diketahui PT. KPBN merupakan anak perusahaan dari Perkebunan Nusantara III (PT. PN) yang bertugas sebagai agen penjualan berbagai komoditas yang ada di PT. PN (Sawit, Karet, Gula, dan Tetes). Saat ini PT. KPBN begerak di lini perdagangan komoditas (trading) yang bersumber dari PT. PN sendiri untuk dilakukan lelang setiap harinya. (ril/chu)