PANGKALPINANG, LASPELA – Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Bambang Patijaya menilai Focus Group Discussion (FGD) antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pemprov Babel) bersama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI membahas wacana timah menjadi komoditas strategis tidak ada hal penting yang dibahas dan menjadi kekuatan dari pembahasan tersebut.
Pria yang kerap disapa BPJ ini menyebutkan, pembahasan tertutup yang dihadiri Gubernur Lemhanas, Dirut PT Timah, Forkompimda, serta Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), di Ruang Pasir Padi Kantor Gubernur Babel, Jumat (17/3/2023) itu justru membahas persoalan lain.
Sedianya, kata dia, FGD tersebut membahas kajian jangka panjang tahun 2023 dengan tema “Mengembalikan Komoditas Timah sebagai Mineral Strategis dalam rangka Mengamankan Penguasaan Aset Mineral”.
“Namun dalam pembahasan tersebut tidak ada yang urgensi yang dibahas tentang kajian untuk memantapkan komoditas timah untuk dikembalikan ke mineral strategis. Malah FGD membahas tentang persoalan operasional dan penegakan hukum,” katanya.
“Itu saja yang dibahas, selain itu soal perpajakan yang kurang maksimal. Jadi pembahasannya bukan dalam tatanan strategis,” tambah BPJ.
Ia mengakui, sangat berharap menunggu hasil kajian dari Lemhanas tentang mengembalikan timah sebagai mineral strategis dalam rangka mengamankan penguasaan aset mineral.
“Iya, kita masih menunggu kajian dari Lemhanas seperti apa hasilnya,” imbuh BPJ.
Selain itu, menurut Bambang, jika hilirisasi timah yang direncanakan sudah dijalankan. Menjadikan timah sebagai mineral strategis merupakan pendukung utama.
“Itu tadi kata saya, apa yang mau kita bahas, kalau barangnya baik-baik saja, enggak ada urgensinya,” tuturnya.
Hal yang sama juga dikatakan Wakil Ketua AETI Herwendro Aditya, dimana timah dijadikan mineral strategis itu belum ada urgensinya.
“Sebab harus diakui dampak dari timah ini masih banyak dirasakan oleh masyarakat Babel dan berimbas menurunkan angka kemiskinan, itu data-data yang kita dapat,” ujarnya.
Menurutnya, timah ini mau diproduksi berapa smelter, paling tidak produksinya sekitar 60-70 ton.
“Sebenarnya timah ini mau diproduksi berapa smelter sih? Paling banyak juga produksinya 60-70 ribu ton. Ya itu cuma segitu-segitu saja. Dan hitungan kami ini akan berakhir 35 tahun ke depan,” jelasnya.
Namun, Herwendro menyebutkan, bahwa ini semua kembali kepada kebijakan pemerintah, dan pihaknya mengikuti saja.
“Tadi yang dibahas juga tidak begitu strategis. Akan tetapi kita ada solusi ke depan. Seperti kita harus punya stokpile nasional. Kita ini produsen timah nomor dua di dunia, harusnya kita bisa kendalikan harga timah. Tapi ini kembali lagi pemerintah. Kita hanya memberikan masukan,” tutupnya.(chu)
Leave a Reply