BANGKA mempunyai kisah perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini bisa ditelusuri dari naskah yang ditulis oleh orang-orang terdahulu. Sebut saja kitab sastra India “Milindrapantha” yang pertama kali memunculkan nama Vanca/Wangka pada abad 1 SM.
Selain sumber tulisan, kita juga bisa mempelajari perjalanan sejarah Bangka melalui peninggalan benda cagar budaya seperti prasasti Kotakapur yang “ditancapkan” pada abad VII Masehi.
Begitupun dengan objek-objek yang diduga cagar budaya bertebaran di Bangka dan sekitarnya. Satu diantaranya mercusuar di Pulau Pelepas.
Bicara sejarah, tak banyak memang yang tahu, lebih banyak lagi yang tidak mau tahu.
Adalah “Jelajah Bangka”, salah satu komunitas tempat berkumpulnya orang-orang yang menyukai hal-hal yang berbau sejarah dan budaya, Bangka khususnya.
Guna mengeksplorasi sejarah, Jelajah Bangka siap pergi ke tempat-tempat bersejarah termasuk objek yang diduga cagar budaya, seperti halnya mercusuar di Pulau Pelepas tadi.
Minggu 19 Juni 2022, bersama sejarawan/budayawan Bangka Akhmad Elvian, Yayasan Jelajah Bangka menggelar acara ekspedisi di Kepulauan Nangka.
Akhmad Elvian yang merupakan penerima anugerah kebudayaan dari pemerintah RI mengatakan ada empat pulau yang berada didalam gugusan Kepulauan Nangka.
Pulau Pelepas yang berada disebelah barat dari Pulau Bangka (Tanjung Tedung) disebut juga dengan nama West Nangka Island. Sebagian orang menyebutnya dengan nama Pulau Lampu karena dipulau ini terdapat mercusuar yang mengeluarkan cahaya atau lampu.
Elvian menjelaskan bahwa mercusuar Pulau Pelepas yang diduga benda cagar budaya, pertama kali beroperasi di tahun 1893. Pada masa Ratu Wilhelmina menerima tahta kerajaan Belanda menggantikan Ayahnya yang mangkat. Namun karena usianya belum genap 18 tahun ketika itu, maka pemerintahan diwakilkan/diwalikan oleh Ibunya, Yang Mulia Ratu Emma.
Selain Pulau Pelepas, ada juga Pulau Begadung yang toponiminya diambil dari Gadung (Dioscorea hispida) sejenis umbi-umbian yang diduga dulunya banyak terdapat dipulau ini.
“Kemudian Pulau Tikus juga merupakan bagian dari Kepulauan Nangka. Dan terakhir, Pulau Nangka itu sendiri, yang mendapatkan namanya dari Kelidang (Artocarpus lanceifolius) yang rasa buahnya seperti Nangka, masyarakat menyebutnya dengan istilah Nangka Pipit,” tutur Akhmad Elvian Pakar sejarah/budaya Bangka yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Pangkalpinang.
Darpin Asnan, founder gerakan Jelajah Bangka mengatakan kegiatan ini dibuat guna mengenalkan aset sejarah Bangka kepada khalayak ramai.
“Banyak orang yang suka wisata. Dan hanya segelintir orang yang menyukai sejarah. Nah kegiatan ini kita buat dengan konsep belajar sejarah, yang dibungkus dengan wisata. Sehingga peserta dapat mendengar kisahnya sambil langsung melihat objek sejarahnya”.
Peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” mungkin bisa mewakili apa yang Darpin sebutkan tadi. Pria yang akrab disapa Alvin Azra yang juga merupakan Ketua Yayasan Jelajah Bangka Indonesia tersebut berharap apa yang dilakukan bersama rekan-rekannya dapat bermanfaat bagi masyarakat Bangka.
“Ketika kita mau mempelajari sejarah Bangka, maka kita akan mengenal Bangka. Dan ketika kita kenal (sejarah/red) Bangka, maka kita akan mencintai Bangka,” tutur Alvin.
Kegiatan Jelajah Bangka edisi Kepulauan Nangka ini diikuti oleh 30 orang peserta dari kalangan pelajar/mahasiswa dan umum dengan peserta termuda berusia 12 tahun, Putri Calysta asal Parit Tiga.
Jumlah peserta sengaja dibatasi guna mengoptimalkan layanan dengan selalu mengutamakan keselamatan.
“Setelah kuota terpenuhi, ternyata masih banyak yang mendaftar. Untuk itu kami mohon maaf kepada kawan-kawan yang belum dapat diakomodir dalam ekspedisi Kepulauan Nangka kali ini. Hal ini kami lakukan agar bisa menjaga layanan dan terutama keselamatan kita semua. Semoga kita dapat bersama di Jelajah Bangka edisi berikutnya,” pungkas Alvin. (*)