Statistik mencatat, pada tahun 2016, ada 8 daerah pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasang calon saja. Persoalan yang sama terus berlanjut pada pelaksanaan pilkada serentak yang dilaksanakan pada tahun 2017. Dari data yang dipublish oleh KPU RI, setidaknya ada 9 daerah yang hanya akan diikuti oleh satu calon saja (calon tunggal). Persoalan ini kemudian menjadi realitas pemilihan umum di tingkat lokal sekaligus menjadi ancaman serius demokrasi di Indonesia.
Persoalan calon tunggal sempat semakin meruncing ketika dari sisi normatif tidak ada aturan yang mengatur tentang pilkada dengan calon tunggal, hingga pada ahkirnya kepastian hukum dapat terpenuhi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam putusan perkara Nomor 100/PUU-XIII/2015 tertanggal 29 September 2015.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9), Pasal 51 ayat (2), 52 ayat (2), Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian; “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”.
Leave a Reply