*Dibilang Cemen, Deddy Sebut Dodot Kapitalis
PANGKALPINANG, LASPELA – Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Deddy Yulianto, menyayangkan sikap mantan Ketua DPRD Babel, Ismiryadi alias Dodot dan mantan Direktur Utama BUMD Babel, Patris Lumumba yang bereaksi saat dirinya mempertanyakan asal usul pasir timah para eksportir di Babel.
Politisi Partai Gerindra tersebut menilai, sepertinya Dodot dan Patris belum memahami regulasi dan aturan-aturan masalah pertimahan. Terutama mengenai aturan asal usul bahan baku timah batangan yang diekspor.
“Saya ingin menyampaikan pemerintah membuat regulasi dan membuat aturan aturan pertimahan untuk mengatur semua itu. Legalitas wajib dimiliki, IUP Pengangkutan dan Penjualan wajib, memiliki IUP CNC. Namun bukan berarti dengan memiliki kelengkapan perizinan lantas bebas mengambil pasir timah dari mana saja. Seharusnya tidak seperti itu,” kata Deddy dalam rilisnya yang dikirim kepada wartawan, Minggu (8/10/2017).
Menurutnya, asal usul pasir timah sebagai bahan baku timah ingot harus jelas. Berapa luas IUP yang dimiliki eksportir atau IUP kerjasamanya juga harus jelas. Dimana tambangnya, dan berapa produksi perhari smelter para eksportir pun mesti jelas.
“Itu jelas aturan mainnya, tidak seenaknya mentang mentang kita memiliki legalitas perizinan yang lengkap namun asal usul timah tidak jelas,” ujarnya mempersoalkan.
Dikatakan Deddy, dalam pernyataan is tidak bermaksud untuk mempersulit investor masuk ke Babel. Dia paham betul dampak terhentinya ekspor timah terhadap perekonomian daerah. Namun, ia menegaskan rambu-rambu dan aturan main dari hulu ke hilir tentang timah ini tidak harus dikesampingkan.
“Jangan diterabas semua. Mesti diikuti,” tegasnya.
Ia pun mempersoalkan komitmen para eksportir terhadap sumbangan hasil produksi Rp1000 yang akan diekspor, kepada pemerintah provinsi untuk pendapatan asli daerah (PAD) berupa sumbangan pihak ketiga. Komitmen itu disepakati pada tahun 2015, namun nyatanya pada 2016 tidak terealisasi sepeser pun alias omong kosong.
“Komitmen perusahaan smelter kami pertanyakan terkait bantuan sumbangan pihak ketiga yang sudah disepakati Rp1000,- per kg. Ingat? Namun tidak satu rupiahpun masuk ke kas daerah,” sebutnya.
Karena itu Deddy sangat menyayangkan pernyataan Dodot yang mengatakan dirinya “baru bangun tidur” terkait pertimahan di Babel. Ia menilai justru Dodot perpanjangan tangan kapitalis.
“Kami sangat sayangkan, kalau Pak Ismiyardi alias Dodot mengatakan cemen dan baru bangun tidur, kami mengatakan mereka itu perpanjangan kaum kapitalis dan kalau merasa bener kita buktikan saja. Kenapa mesti kebakaran jenggot?,” tantang Deddy.
Mantan Ketua DPD Partai Gerindra Babel ini juga memberikan tantangan kepada Dodot dan Patris untuk membuktikan IUP dan asal usul timah smelter. Caranya dengan dilakukan audit konsesi IUP dan asal usul barang.
“Kenapa mesti bilang cemen dan baru bangun tidur. Ayo kalau berani kita buktikan saja audit konsesi IUP dan audit asal usul barang termasuk audit kembali data data yang dikeluarkan oleh Sucofindo (Surveyor). Apalagi dengan temuan ICW kemarin kerugian negara 68,9 triliun rupiah,” jelasnya.
Untuk itu Deddy meminta, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus segera membongkar dugaan ketidakbenaran asal usul bahan baku timah batangan maupun transaksi ekspor di bursa timah.
“Pemerintah dan aparat hukum mesti membongkar mafia dan broker pertimahan ini, termasuk sistem dan mekanisme penjualan balok timah melalui bursa selama ini patut dipertanyakan, dengan temuan yang dimiliki data oleh ICW dimana ada perbedaan harga.
Ini berarti sama saja ada broker yang bermain dalam bursa ICDX dan tidak transparan,” harapnya.
Sebelumnya, Ismiryadi atau akrab disapa Dodot mengaku kesal dengan pernyataan Deddy Yulianto yang berkomentar di media massa seolah ada ‘bagi-bagi kue’ dalam penentuan jumlah kuota di permohonan rekomendasi Surat Persetujuan Ekspor (SPE) timah murni batangan, baru-baru ini.
Menurut Dodot apa yang dipertanyakan Deddy soal asal barang itu adalah sebuah pemikiran yang mundur. Artinya Deddy masih berbicara hulu.
“Padahal kita ini mulai eskploitasi masalah timah yang terkait dengan tambang rakyat itu, mulai dari otonomi daerah yang saat itu dikeluarkan oleh Bupati Bangka almarhum Eko Maulana Ali, sehingga diterbitkan aturan-aturan tambang rakyat,” kata Dodot yang ditemui di kediamannya di Pangkalpinang, Selasa (3/10/2017).
Jika bicara penambangan, lanjut Dodot maka asal barang sudah terjawab, perizinan sudah terjawab berikut pengolahan dari bahan baku menjadi setengah jadi yang start-nya dimulai 2003. “Kalau sekarang ditanya, berarti yang nanya ini baru ‘bangun tidur’,” singgungnya.
Dia menyesalkan seorang Deddy Yulianto justru baru mempertanyakan hal tersebut di tahun 2017. Makanya kata dia, kalau ingin berpikir lebih maju harusnya Deddy berbicara soal hilir, tata jual, tata bisnisnya, pengembangan dari balok jadi bahan lain, entah itu kata Dodot berbentuk tin chemical atau yang lain-lain sehingga timah dicari orang.
“Kita harus berpikir mengajak orang luar berinvestasi ke Babel, sehingga memberi multiplayer effect, ekonomi, tenaga kerja, pendapatan daerah, pendapatan negara. Itu yang harusnya Deddy berpikir, pengolahan bahan mineral ikutan. Bukan berpikir asal barang,” sesalnya lagi.
Lalu bagaimana dengan indikasi ‘bagi-bagi kue’ di SPE (Surat Persetujuan Ekspor)? “Loh, SPE? Kita yang ngajukan ke pemerintah daerah, lalu pemda bawa ke Dirjen Minerba, semua sesuai persyaratan, bagaimana bisa dapat SPE kalau semua perizinan tidak dipenuhi?,” sebut dia.
Dijelaskanya kalau tidak ada KP, IUP, OP produksi dan lain-lain maka tidak akan bisa eksportir mendapatkan PE.
“Bagaimana bisa bagi-bagi kuota, coba logikanya gini, kalau ada 10 hektar masak bisa dapat 100 ton? Kalau PT Timah yang punya ribuan ton, kalau saya punya 200 hektar wajar 900 ton.
Kuota sesuai dengan kemampuan perusahaan tersebut. Mengajukan dan disepekati pemerintah daerah,” terang Dodot.
SPE itu kata dia adalah aturan dari pusat untuk mengendali ekspor, bukan diperebutkan. Bukan juga seperti kue di meja yang dibagi-bagi. Semua SPE yang sudah ada itu benar-benar sesuai kemampuan masing-masing perusahaan.
“Kalau perusahaan itu besar, besarlah dapat. Ini ketidakmengertian orang ini, seenak-enak ngomong. Kita jangan ngomong kalau tidak tahu masalah. Saya tidak mampu menakar pola pikir orang itu,” sindirnya.
Dodot bahkan merasa tidak enak hati dengan Deddy, karena dengan pernyataannya seperti itu di media maka akan mudah bagi orang untuk menjawab, dan itu membuat malu diri sendiri.
“Tidak mendasar itu dugaan Deddy itu. Tidak mendasar. PE dikeluarkan oleh ESDM dipertajam lagi dengan Daglu (Perdagangan Luar Negeri). Jadi ada 3 kontrol di sini, pemda, Dirjen dan Daglu. Di mana bagi-bagi kuota-nya?,” lanjutnya.
Bahkan kata Dodot kalau besok ada yang lebih mampu dari PT Timah, silakan, pihaknya selaku eksportir swasta harus terbuka.
“Misalnya pengolahan zirkon yang dibawa saudara Udin, kita wellcome. Cemen kalau bicara asal barang. Ada apanya itu tidak jelas. 14 tahun mundur, padahal Deddy dua periode anggota dewan, ke mana saja selama ini?” tanyanya.
Menyangkut soal reklamasi yang juga disinggung Deddy bahwa perusahaan-perusahaan smelter nyaris tak melakukan reklamasi, Dodot malah bertanya balik soal PT Kobatin. Sampai perusahaan itu tutup tidak pernah ada reklamasi.
“Ada aturan yang mengikat, kita setor uang jaminan. Sekarang PT kobatin tutup, mana reklamasi Kobatin? saya ingin tahu. Ini tantangan bagi Deddy sebagai wakil rakyat, jangan dulu bicara yang masih produksi, bicara dulu yang sudah tutup itu, banyak duit itu,” katanya.
Seperti kata dia seharusnya banyak hal di dunia pertambangan yang bisa diperbaiki. Dia mengaku sudah berbicara dengan Gubernur Babel dan pihak-pihak luar bahwa pengelolaan SDA harus dapat bermanfaat untuk rakyat, negara dan pemerintah.
“Kalau dianggap tidak bermanfaat untuk negara, pemerintah dan rakyat, ya, tinggal tutup saja. Seperti ICDX itu, kita kaji, ada gak manfaat untuk pemda dan masyarakat, pertanyakan. Kita tidak mau tutup ICDX, tapi bursa itu harus bisnis per bisnis, harus ada kontribusi ke pemda untuk rakyat. Sementara selama ini mana kontribusinya,” sebut dia.
Ketua Asosiasi Industri Tambang Indonesia (AITI) ini mengaku siap jika memang Deddy mau berdiskusi. Dia mengajak sama-sama membuka data yang dipunya. “Silakan Deddy buka, saya juga buka,” tantangnya.
Makanya Dodot meminta kepada Deddy, saat ini bukan lagi harus mundur sampai 2003, tapi berpikir bagaimana mendatangkan investasi, membuat lapangan pekerjaan, perputaran uang yang tajam sehingga Babel dapat diperhitungkan dunia.
“Itu baru hebat, oh tanah jarang ada di Bangka, oh thorium ada di Bangka, itu cara berpikirnya, bukan malah balik mempermasalahkan asal barang, lah lewat,” tegasnya.
Tambang kata Dodot harus bijak menyikapinya karena menyangkut lingkungan hidup, hajat hidup orang banyak dan Gubernur pun sudah mulai memberi bayangan untuk program masa depan dalam bentuk community develpoment, CSR dan lainnya.
“Ini kita sikapi dengan bijak bagaimana kita menata produksi timah sekarang ini. Janganlah seperti orang yang baru bangun,” tandasnya.
Sedangkan mantan Dirut BUMD Patris Lumumba menyarankan DPRD diharapkan bersinergi dengan pemerintah eksekutif dalam bersikap, karena kegiatan ekspor timah berperan besar terhadap perekonomian di Provinsi Bangka Belitung.
“Menyikapi pernyataan Wakil Ketua DPRD Babel itu kami meminta pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur sebagai kepala eksekutif Pemerintahan Provinsi Babel dan DPRD selaku legeslatif bersikap bijak. Mari tegakkan aturan dan bijak juga menyikapi ini karena ekspor timah Babel menyangkut hajat hidup orang banyak. Perekonomian di Babel juga dipertaruhkan,” ungkapnya Senin sore (2/10/2017).
Menurut Patris, perlunya satu suara di DPRD Babel dalam menyikapi asal usul bahan baku timah ekspor dan indikasi jual beli kuota pada SPE yang diterbitkan Kementerian ESDM, agar tidak hanya menjadi kebijakan sepihak saja. Apalagi jika harus bicara penegakan hukum yang berkeadilan.
“Aturan hukum yang jelas harus tetap ditegakan. Misalnya, jika ingin menyelidiki asal usul pasir timah yang diekspor smelter, harus juga menyelidiki bahan baku PT Timah. Karena siapa yang bisa membuktikan legalitas pasir timah yang diekspor smelter, termasuk PT Timah? Saya rasa tidak ada, karena pasir timah semuanya hitam dan jika dilebur juga warnanya sama,” paparnya.
Justru yang perlu diselidiki lebih jauh oleh Pemprov Babel dan DPRD, lanjut Patris adalah bagaimana perbandingan kuota ekspor yang dimiliki eksportir dalam kurun waktu setahun, dengan jumlah ekspornya. Seperti PT Timah (Persero), Tbk yang dalam data SPE semester pertama 2017 memiliki kuota ekspor 15 ribu ton, namun dari bulan Januari hingga Agustus ternyata sudah mengekspor 17 ribu ton.
“Jika dilihat dari SPE, PT Timah kan dirilis Deddy kuotanya 15 ribu ton. Apakah PT Timah benar mengekspor sejumlah itu dan apakah benar juga dihasilkan dari pasir timah yang ditambang? Itu perlu dikaji juga, karena saya dengar ekspornya sudah 17 ribu ton lebih, apakah ada kuota baru atau tambahan, perlu dilihat. Jika polisi hendak mengusut, maka asal usul timah milik PT Timah pun harus diselidiki, tidak hanya smelter swasta agar asas keadilan itu ada,” ujarnya.
Karena itu, Patris menyarankan supaya DPRD bersama Pemprov Babel dapat bersama-sama meluruskan tata kelola dan niaga ekspor timah. Dan Deddy Yulianto selaku pimpinan DPRD diminta membuktikan indikasi jual beli kuota ekspor tersebut, termasuk asal usul bahan baku timah ekspor.
“Kami meminta Deddy Yulianto sebagai wakil rakyat untuk membicarakan itu di tingkat DPRD secara lembaga dengan pemerintah provinsi demi keberlangsungan ekspor timah di Babel,” tutup Patris. (naf).