PANGKALPINANG, LASPELA- Setelah mengalami perlambatan sejak tahun 2011 lalu, pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung (Babel) pada 2016 menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 4,11%. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 sebesar 4,08%.
Bayu Martanto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, melalui siaran persnya baru-baru ini mengatakan, peningkatan ini didorong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Dari sisi penawaran, didorong oleh sektor industri pengolahan dan pertambangan-penggalian, seiring dengan meningkatnya produksi biji timah dengan membaiknya harga timah.
“Walau pertumbuhan ekonomi tersebut melambat dalam lima hingga enam tahun terakhir, namun masih mampu memperbaiki beberapa indikator sosial kependudukan,” terang Bayu.
Menurut Bayu, tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat dari 68,90% menjadi 68,93%. sejalan dengan itu, tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 2,60%. Demikian pula indeks pembangunan manusia meningkat menjadi 69,05 pada tahun 2015, sementara tahun 2011 sebesar 66,59. Selanjutnya, tingkat kemiskinan tergolong rendah tercatat sebesar 5,22% pada Maret 2016 yang merupakan angka terendah di Sumatera.
Bayu menambahkan, kesenjangan antar penduduk yang tercermin dari gini ratio stabil pada angka rendah yaitu sebesar 0,29 pada tahun 2016, lebih rendah dibandingkan provinsi lain di Sumatera dan bahkan dibawah nasional yang sebesar 0,39.
Ia menerangkan, pada triwulan I 2017, pertumbuhan ekonomi Babel diperkirakan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan didukung membaiknya konsumsi rumah tangga dan meningkatnya ekspor seiring dengan membaiknya harga komoditas timah.
“Adapun sepanjang tahun 2017 ekonomi Bangka Belitung diproyeksikan akan tumbuh dalam kisaran 4,0%-4,4%, lebih tinggi dari tahun 2016”, jelas Bayu Martanto.
Namun demikian kata Bayu, ada hal yang perlu dicermati. Pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian yang sebelumnya sempat tumbuh rata-rata 7,5% per tahun melambat dan hanya tumbuh 4,23% di 2016. Hal tersebut mengakibatkan turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) yaitu indikator tingkat kesejahteraan petani yang ditunjukkan oleh rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani.
“NTP pada Maret 2017 tercatat hanya sebesar 98,14. Nilai NTP dibawah angka 100 menunjukkan bahwa kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya oleh petani. Sub sektor dengan angka NTP dibawah 100 antara lain sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat, dan peternakan,” ulasnya.
Apabila dihitung kata Bayu, NTP rata-rata sepanjang 2012-2017 didapat angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 101,27. Tingginya angka NTP tersebut terutama disumbang oleh subsektor perkebunan yang mencapai 101,57 Sementara itu, untuk padi, palawija, hortikultura, peternakan dan nelayan berada di bawah 100.
Bayu menerangkan, sektor pertanian merupakan sektor kedua terbesar di Babel yang menyumbang 20% dari total PDRB dan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap 32,13%. Secara lebih rinci, subsektor terbesar dalam sektor ini adalah tanaman perkebunan yang menyumbang 46% terhadap sektor pertanian diikuti oleh subsektor perikanan dan tanaman holtikultura masing-masing berkontribusi 32,73% dan 10,31%.
“Khusus subsektor perikanan, apabila dicermati lebih jauh inflasi komoditas ikan-ikanan selama enam tahun terakhir memiliki standar deviasi sebesar 9,12%. Tingginya nilai standar deviasi tersebut menunjukkan bahwa harga komoditas perikanan fluktuatif sehingga menyumbang ketidakstabilan pencapaian inflasi di Babel,” bebernya.
Kondisi semacam ini kata bayu kurang menguntungkan terhadap penghasilan nelayan, terlihat dari rata-rata NTP Perikanan yang masih dibawah 100. “Babel dianugerahi potensi kelautan dan perikanan yang besar. Wilayah laut mencapai 65.301 km2 atau 79,99% dari total luas wilayah Bangka Belitung. Selain itu, jumlah rumah tangga perikanan tangkap mencapai 17.304 kk serta memiliki keanekaragaman jenis ikan seperti; tenggiri, tongkol, kembung, kakap, dan udang. Namun demikian, subsektor ini masih memiliki berbagai kendala,” terang Bayu.
Ia menerangkan, sari sisi suplai produksi ikan tangkap fluktuatif, masalah ketersediaan cold storage, keterbatasan pembiayaan, dan posisi daya tawar nelayan lemah. Sementara dari sisi permintaan, jalur distribusi, tata niaga dan struktur pasar belum efisien.
Untuk memperbaiki dan mengoptimalkan subsektor perikanan ini, Beberapa langkah dapat dilakukan seperti program pemberdayaan nelayan, penyediaan sarana pendingin/cold storage, program asuransi, pembiayaan dan keuangan inklusif kepada nelayan, optimalisasi tempat pelelangan ikan, peningkatan pengawasan laut, pengembangan jaringan informasi harga untuk mengatasi asymetric information serta pengembangan industri nilai tambah perikanan.
“Melalui optimalisasi sub sektor perikanan ini, diharapkan dapat mendukung baik pertumbuhan ekonomi, terjaganya stabilitas inflasi serta peningkatan kesejahteraan nelayan”, tutup Bayu Martanto. (Rilis)