Ilusi dan Transformasi!

 

KATA-KATA terakhir Steve Job, Pemilik Apple Computer yang kekayaan­nya Rp 67 triliun (forbes) sebelum meninggal.

Dalam dunia bisnis, aku adalah simbol dari kesuksesan, seakan-akan harta dan diriku tidak ter­pisahkan, karena selain kerja, hobiku tak banyak. Saat ini aku berbaring di rumah sakit, merenun­gi jalan kehidupanku, kekayaan, nama, dan kedudukan.

Semuanya itu tidak ada artinya lagi.Malam yang hening, cahaya dan suara mesin di sekitar ran­jangku, bagaikan nafasn­ya maut kematian yang mendekat pada diriku.

Sekarang aku menger­ti, seseorang asal memiliki harta secukupnya untuk digunakan dirinya saja itu sudah cukup. Mengejar kekayaan tanpa batas itu bagaikan monster yang mengerikan.

Tuhan memberi kita organ-organ perasa, agar kita bisa merasakan cinta kasih yang terpendam da­lam hati kita yang paling dalam.

Tapi bukan kegembi­raan yang datang dari kehidupan yang mewah — itu hanya ilusi saja.

Harta kekayaan yang aku peroleh saat aku hid­up, tak mungkin bisa aku bawa pergi. Yang aku bisa bawa adalah kasih yang murni yang selama ini ter­pendam dalam hatiku.

Hanya cinta kasih itu­lah yang bisa memberiku kekuatan dan terang.Ran­jang apa yang ter­

mahal di dunia ini? Ranjang orang sakit.

Orang lain bisa bukakan mo­bil untukmu, orang lain bisa kerja untukmu, tapi tidak ada orang bisa menggantikan sakitmu. Barang hilang bisa didapat kembali, tapi nyawa hilang tak bisa kembali lagi.Saat kamu masuk ke ruang operasi, kamu baru sadar bahwa kesehatan itu betapa berharganya.Kita ber­jalan di jalan kehidupan ini.

Dengan jalannya waktu, suatu saat akan sampai tujuan. Bagaikan panggung pentas pun, tirai pang­gung akan tertutup, pentas telah berakhir.Yang patut kita hargai dan sayangkan adalah hubungan kasih antar keluarga, cinta akan suami-istri dan juga kasih persa­habatan antar-teman.(Steve Job)

BAGI SAYA, mungkin juga bagi Anda, Steve Job adalah orang besar. Bukan hartanya, namun attitudenya. Ia memiliki segalanya, namun akh­irnya ia pasrah pada KEHIDUPAN dan sekaligus kematiannya.

Namun yang sangat luar biasa adalah buah re1eksi dan testimo­ni yang “diwariskan” kepada kita. Pesan kehidupan dan kebijaksa­naan lainnya diwariskan pula oleh Steve Job dalam buku “Becoming Steve Jobs,” yang menyoroti per­cakapan Jobs dengan rekan, kole­ga, dan temannya dalam beberapa pekan terakhir dan hari sebelum ia meninggal dunia pada 5 Oktober 2011.

Buku ini ditulis oleh Brent Schlender dan Rick Tetzeli dari ha­sil wawancara dengan para pemi­mpin industri teknologi, hiburan, dan dalam perusahaan Apple sendi­ri, yang bekerjasama dengan Jobs.Dalam satu bagian penting, CEO Apple saat ini, Tim Cook, meng­ingat hari ketika Jobs memintanya menjadi pemimpin tertinggi di Ap­ple.

Cook sebelumnya menjabat se­bagaichief operating officer (COO).Kala itu, Jobs sedang berjuang mel­awan kanker pankreas dan mengh­abiskan sebagian besar waktunya di rumah. Cook ingat bahwa Jobs menginginkan penggantinya tidak akan pernah mencoba untuk meniru apa yang telah dilakukannya.

Jobs menyebutnya sebagai kon­sep “The Beatles,” di mana setiap personel grup musik legendaris itu punya ikon tersendiri dan pun­ya bakat yang saling melengkapi.Kesehatan Jobs terus memburuk dalam waktu delapan pekan setelah percakapan ini. Cook berkata, Jobs mengajaknya menonton film “Re­member the Titans” beberapa hari sebelum meninggal.

Jobs meninggal dunia di usia 56 beberapa bulan setelah ia mengun­durkan diri dari Apple pada Agustus 2011. John Lasseter, Kepala Kreatif di Pixar, sebuah perusahaan anima­si digital yang didirikan oleh Jobs, juga punya kenangan terakhir.

”Kami berbicara tentang Pixar … Kemudian saya menatapnya dan dia berkata, ‘Ya, saya perlu untuk tidur siang sekarang.’ Saya bangk­it untuk pergi, kemudian berhenti, saya menatapnya dan kembali. Saya memberinya pelukan, dan ciuman, dan saya berkata, ‘Terima kasih. Terima kasih untuk semua yang Anda lakukan untuk saya.’”Steve Job melakukan”transformasi” ke­hidupan ke kematian dengan begitu agung dan indah.

Keagungan dan keindahan ter­letak pada kesadaran “memiliki dunia itu tiada artinya” dan memi­liki cinta kasih terhadap sesama itu sangat tinggi nilai spiritualitasnya. Memiliki dunia dan menjalankan cinta kasih menjadi kata kunci ke­hidupan.

Steve Job akhirnya memberikan kritik sangat tajam kepada pema­haman kita dan mengajak kita agar membuat transformasi-transformasi yang lebih bermakna.

Tatkala kita berada di Babel, ayo kita lakukan transformasi den­gan lebih cepat pariwisata kita, re­vitalisasi lada kita dan bersegeralah memberi “kail” bagi masyarakat yang kehidupannya makin tercekik oleh gerusan daya beli.

Dan bagi penyebab krisis yang berkepanjangan ini, entah bernama “penyelundup” atau pembuat kebi­jakankiranya kritik Steve Job cukup jelas agar kita lebih bijaksana dan lebih mengedepankan cinta kasih. Semoga!