Opini  

Upaya Meraih Haji yang Mabrur (Bagian 1)

Oleh: Marwan Al Ja’fari (Sekretaris DPRD Babel)

PADA tanggal 28 dan 29 Juni lalu, sebanyak 483 jamaah haji asal Kepulauan Bangka Belitung (KBB) telah diberangkatkan ke tanah suci melalui Bandar Udara Depati Amir Pangkalpinang, lalu mampir di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin Palembang untuk ganti pesawat, dilanjutkan menuju Jeddah, lalu Mekkah Almukarromah.

Alhamdulillah di tahun ini yang termasuk jamaah haji asal KBB adalah Ketua DPRD KBB Pak Herman Suhadi. Telah lama beliau mendaftar antri untuk bisa berangkat ke tanah suci. Setelah menanti sebelas tahun, Pak Herman bersama istrinya Bu Nuraini akhirnya dapat melaksanakan perintah Allah SWT, yaitu menjalankan Rukun Islam kelima, menunaikan ibadah haji.

Pak Herman Suhadi dan istri masuk dalam 115 calon jamaah haji dari Kabupaten Bangka yang diberangkatkan ke tanah suci Mekkah tahun ini. Semoga beliau bersama istri dan para jamaah haji yang lain dari Provinsi KBB diberikan kesehatan selama menjalankan Ibadah haji dan pulang membawa predikat sebagai haji yg mabrur dan mabruroh.. amin ya robbal aalamin.

Sebagai orang yang belakangan ini cukup dekat dengan Pak Herman Suhadi, saya pribadi ikut mengantar dan melihat keberangkatan beliau bersama jamaah haji lainnya. Jadi teringat masa-masa tahun 2002, saat saya dipercaya dan ditunjuk Kementrian Agama Pusat untuk menjadi Ketua Kloter Haji, memimpin 400 jamaah haji asal KBB. Jelas, untuk bisa lolos menjadi Ketua Kloter itu harus melewati uji seleksi yang ketat dari Kementrian Agama Pusat.

Dengan berbekal pengalaman karena dua tahun sebelumnya saya sudah pernah ke tanah suci dan juga karena nasib, akhirnya di tahun 2002 itu saya bisa lolos dalam seleksi calon petugas pelayanan jamaah Haji dan ditunjuk menjadi Ketua Kloter (Kelompok Terbang) untuk memimpin serta membantu kelancaran para jamaah haji yang akan berangkat. Suatu pengalaman yang sulit dilupakan sampai saat ini.

Masih terbayang dan teringat ketika kami melaksanakan perjalanan ibadah haji bersama para jamaah. Terasa sekali nikmatnya, yang membuat kami semakin yakin akan kebesaran Allah bahwa perjalanan Ibadah Haji ini merupakan perjalanan suci yang sangat dirindukan oleh seluruh kaum muslimin yang beriman.

Oleh karena itu, untuk melaksanakannya, kita tidak mau sembarangan dan menghendaki cara yang baik yang telah digariskan Allah SWT dan Rosul-Nya. Tidak berangkat dengan memaksakan diri, misalnya seperti dengan cara menggeser antrian orang lain yang telah lebih dahulu mendaftar untuk keberangkatan ke tanah suci. Jadi harus sabar menunggu seperti Pak Herman tadi, meski sebelas tahun. Atau seperti jamaah lain ada yang lebih lama daripada itu.

Begitu juga dengan niat keberangkatan ke tanah suci, tidak boleh berharap yang macam-macam seperti karena ingin dipuji dan ada maksud-maksud yang lain yang justru malah akan menimbulkan penyakit ria’ dan bisa menghilangkan pahala daripada ibadah itu sendiri. Oleh karena itu, niat naik Haji harus diluruskan dulu.

Kita berangkat ke tanah suci hendaklah dengan niat ingin membersihkan dan mensucikan diri dari segala dosa sekaligus membuktikan ketaatan kita kepada perintah Allah SWT. Jadi jangan sampai terselip niat, sepulang dari ibadah haji nanti, orang harus memanggil kita Pak Haji atau Ibu Hajjah dan kalau tidak memanggil Pak Haji atau Bu Hajjah, kita jadi marah karena menganggap orang itu tidak beradab. Selain itu juga tidak berharap agar orang menganggap kita sebagai mahluk yang sudah suci karena telah pulang dari tanah suci. Di sinilah pentingnya meluruskan niat sebelum keberangkatan ke tanah suci.

Pada saat kami bersama jamaah melaksanakan Ibadah Haji di Kota Mekkah, tentunya ada beberapa kegiatan yang kami lakukan baik berupa Wajib Haji maupun Rukun Haji yang mengandung hikmah-hikmah yang di dalamnya.
Pertama, setelah jamaah dari Indonesia sampai di Kota Jeddah, termasuk kami, langsung melakukan Ihram umroh dari Miqat. Kami dan jamaah melaksanakan ibadah Haji tamattu pada waktu itu, yaitu melaksanakan Umroh dulu baru melaksanakan Ibadah Haji.

Kota Jeddah dijadikan tempat miqat atau tempat garis start memulai pelaksanaan ibadah Haji bagi jamaah yang kloternya mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah. Sedang bagi jemaah kloternya mendarat di bandara Muhammad Abdul Aziz Madinah, tempat miqotnya dimulai dari Bir Ali menuju Mekkah.
Di sini kami mulai menangggalkan pakaian sehari-hari lalu menggantinya dengan dua helai kain putih tanpa jahit bagi laki-laki dan bagi perempuan memakai pakaian yang serba putih dengan menutupi seluruh auratnya kecuali muka dan telapak tangan. Lalu melaksanakan sholat sunnat dua rakaat.

Dengan mengenakan pakaian ihram ini, jemaah dididik bagaimana belajar meninggal dunia sebelum meninggal dunia yang sesungguhnya. Makna yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah kita seharusnya bisa memilah-milah dalam menjalani kehidupan ini, mana yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang sekedar keinginan atau hanya dorongan nafsu. Mana diri kita yang sejati dan mana hiasan-hiasan dunia yang hanya sekedar menempel pada tubuh kehidupan kita.

Menurut Prof DR Qurais Shihab dalam bukunya Membumikan Alquran, pakaian manusia itu bermacam macam, di antaranya :
1. Pakaian Srigala sebagai “ Lambang kekuasaan dan penindasan”
2. Pakaian Tikus sebagai “ Lambang Kelicikan”
3. Pakaian Anjing sebagai “ Lambang Tipu Daya”
4. Pakaian Domba sebagai “ Lambang orang yang tak punya Sikap”.

Semua pakaian ini harus ditanggalkan di Miqot dan diganti dengan pakaian ihram.

Para jamaah seperti diingatkan bahwa suatu saat nanti apa yang ada pada diri masing-masing ini akan hilang, apakah itu harta, jabatan, keluarga dan kekuasaan. Kalau sudah waktunya berakhir maka kita harus ihklas menerima kenyataan yang terjadi, dan tidak akan membuat barisan patah hati untuk membuat rencana mengganggu ketentdraman negeri ini dikarenakan tidak siap menghadapi kenyataan yang terjadi. (**/Bersambung)