JAKARTA, LASPELA- Pemerintah kini tengah mengkaji kembali pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Hal tersebut dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (18/10) kemarin.
“Untuk UN, kami melakukan kajian internal. Pelaksanaan UN dikaji ulang karena saat ini UN tak lagi menjadi penentu kelulusan. Kami akan melihat manfaatnya karena keterbatasan anggaran. Apalagi tahun depan banyak program prioritas lain,” kata Mendikbud dalam rapat dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta.
Pada 2016, besarnya anggaran untuk mengadakan dan mendistribusikan naskah UN diprediksikan mencapai Rp94 miliar. Selain itu, pemerintah juga harus menyelenggarakan UN perbaikan bagi siswa yang ingin memperbaiki nilai mereka.
Dalam kesempatan tersebut, Komisi X DPR menyetujui pagu anggaran Kemendikbud pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017 sebesar Rp39, 823 triliun. Jumlah tersebut sama persis dengan anggaran yang disampaikan Kemendikbud.
“Di sejumlah kementerian terjadi pengurangan anggaran. Tetapi, khusus untuk pendidikan karena menjaga konstitusi, Banggar DPR memutuskan Kemendikbud tidak mengalami pengurangan anggaran serupiah pun,” ujar anggota Komisi X DPR I Wayan Koster.
Sejumlah pemerhati meminta agar pelaksanaan UN perbaikan ditinjau ulang karena dinilai menghamburkan uang.
“Kalau sedang efisiensi, program penting yang harus diprioritaskan. UN perbaikan harus ditinjau ulang karena program ini mubazir,” ungkap pemerhati pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Said Hamid Hasan.
Keberadaan PIP
Di sisi lain, Komisi X DPR menilai Program Indonesia Pintar (PIP) untuk luar sekolah atau nonsiswa tidak realistis karena sulit mengajak anak untuk kembali sekolah. “Saya sudah memperkirakan praktik di lapangan akan tidak mudah,” jelas Koster.
Apalagi, basis data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang berbeda dengan laporan yang ada di Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Oleh karena itu, Koster meminta pemerintah menghitung ulang agar realistis. “Biar tahu berapa sebenarnya sasarannya. Jadi, perlu ada penghitungan ulang.”
Anggota Komisi X DPR lain, Laila Istiana, juga mempertanyakan penerima PIP untuk nonsiswa. Lagi-lagi yang dipersoalkan adalah sulitnya mendapat calon penerima. “Untuk penerima luar sekolah, kami harus katakan bahwa hal itu kurang realistis karena sulit mendapatkan calon penerima,” tutur Laila.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah tersebut, Mendikbud mengatakan jumlah penerima PIP untuk nonsiswa mencapai 4,6 juta. Program PIP bertujuan mendorong anak-anak usia enam hingga 21 tahun untuk mendapatkan akses pendidikan.
“Kami mendorong anak-anak yang putus sekolah untuk masuk lembaga pendidikan seperti kursus keterampilan. Tujuannya untuk meningkatkan keterampilan diri mereka,” kata Muhadjir.
Dalam kesempatan itu, Muhadjir menjelaskan dana PIP bisa cair jika kepala sekolah melaporkan data penerima dilaporkan ke Dapodik.
Sumber : antara