Budayawan Babel Berikan Tanggapan Pelaksanaan Kebudayaan di Babel pada Masa Wabah Covid-19

Oleh : Wina Destika

PANGKALPINANG, LASPELA – Kondisi dunia saat ini yang sedang menghadapi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), memberi dampak terhadap setiap aspek dan kegiatan secara global, tidak terkecuali kepada Babel.

Hal ini juga memengaruhi pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang ada di Kepulauan Babel. Menyikapi hal ini, Budayawan Babel, Bustami Rachman selaku Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM); Sekretaris LAM, Akhmad Elvian memberikan tanggapannya, Sabtu (28/03/2020).

Dalam pandangan Ketua LAM Bustami, masyarakat Babel adalah masyarakat yang egaliter. Panutan tokoh agama para kiai dan ustad merupakan elemen penting yang mendukung pemerintah pada pola kehidupan masyarakat Babel.

“Dalam masyarakat egaliter seperti ini (red : Babel) peranan pemerintah lah yang paling kuat, dan didukung dengan peranan tokoh agama,” ujarnya.

Untuk itu diimbau kepada pemerintah dalam bertindak agar saling mendukung, saling membantu, satu suara, dan satu sikap yang dimulai dari provinsi hingga ke kabupaten dan kota. Dengan kesatuan sikap tegas ini, maka dapat mengatur masyarakat Babel yang bersifat egaliter.

Ketegasan pemerintah diperlukan untuk masyarakat yang masih melakukan kegiatan kumpul-kumpul, guna mencegah dampak yang bisa terjadi di kemudian hari. Ketua LAM Bustami meminta masyarakat agar dapat mengikuti arahan pemerintah.

“Tokoh agama dan tokoh adat juga ikuti arahan pemerintah. Supaya memberi tahu tidak ada kegiatan kumpul-kumpul. Pemerintah dan MUI melakukan arahan yang kompak, tunggal, dan tegas. Kalau arahan dari pemerintah tidak ada kumpul-kumpul, ya kita harus ikuti,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Akhmad Elvian mengatakan pada penanganan wabah atau penyakit menular dalam aturan adat Pasal 37 Sindang Mardika tentang Melindungi Negeri. Sindang Mardika merupakan hukum adat yang terdiri dari 45 pasal.

Dalam aturan adat tersebut, ada berupa larangan saat terjadi wabah guna melindungi negeri dari hal-hal yang tidak dinginkan, seperti melakukan isolasi.

“Ada aturan adatnya untuk melarang orang masuk ke kampung, atau melarang orang di dalam kampung untuk keluar. Untuk melarang orang masuk ke kampung pada jaman dulu diberi tanda, caranya dengan jarak 40 langkah di pasang kayu yang dikelupas, sebagai tanda kampung ini jangan dimasuki,” jelasnya.

Dengan melakukan hal tersebut, maka kampung melakukan pencegahan penyakit yang datang dari luar. Atau sebaliknya, apabila ada penyakit di kampung tersebut, maka penyakit tersebut tidak dibawa keluar.

“Aturan tersebut jelas dalam adat kita, dan yang melanggar dikenakan denda sangat besar dijaman dahulu,” ungkapnya.

Sekretaris Akhmad Elvian menyampaikan sudah melakukan secara tertulis mengenai pembatasan-pembatasan sebagaimana kearifan lokal Babel di masa lalu untuk meminimalisir orang masuk ke Babel terutama dari zona-zona merah dan meminta kepada masyarakat Babel pun untuk tidak keluar.

Sekretaris Akhmad Elvian menjelaskan istilah Bekurung dan Bekukung di rumah. Bekurung yang artinya dikurung secara adat, di mana kita harus mengurung diri agar tidak sampai penyakit menjadi menyebar ke orang lain.

Kemudian Bekukung adalah dikukung secara aturan pemerintah, agama, hingga negeri dapat melalui musim wabah tersebut.

Elvian pun setuju untuk menunda upacara-upacara adat dan tradisi yang dapat menimbulkan potensi terjadinya perkumpulan masa. Namun untuk tradisi yang bersifat Taber/Penyucian, menurutnya tidak apa-apa dilakukan, mengingat upacara tersebut tidak dilakukan oleh banyak orang, hanya dilakukan oleh dukun kampung.

“Seperti upacara perang ketupat, ada acara Taber Kampung. Silahkan dilakukan oleh dukun, karena tidak melibatkan orang banyak. Namun acara Perang Ketupat di pantai dan mengundang band, jangan dilakukan dulu. Karena dengan Bekukung tadi ada aturan-aturan dari pemerintah yang harus dipatuhi. Begitu juga untuk Ceng Beng dan Nganggung,” ungkapnya.rill/(wa)