Peneliti UBB Gelar FGD, Mengenai Konstruksi Baru Pelaksanaan Wilayah Pertambangan Rakyat

BELITUNG TIMUR, LASPELA– Tim Peneliti Universitas Bangka Belitung (UBB) yang diketuai oleh Dr. Derita Prapti Rahayu. SH.MH melakukan FGD Rekonstruksi Partisipasi Masyarakat dalam Perizinan Pertambangan Rakyat Berbasis Nilai Kearifan Lokal.

FGD yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Belitung Timur ini, dihadiri oleh Marwansyah S.Si (Staf Ahli Pimpinan DPRD Beltim) dan Novis Ezwar ST. MIL (DLH Beltim) sebagai Narasumber. Peserta FGD yang hadir dari beberapa unsur pemangku kebijakan di Pemkab Beltim, penambang rakyat dan masyarakat.

Asisten 1 Pemkab Beltim dalam sambutannya mewakili Bupati Beltim menyambut baik FGD ini. Pemkab mendukung diskusi prihal pertambangan agar ada keselarasan cara pandang.

“Karena di Beltim perekonomian masyarakat cukup bergantung pada tambang. Semoga menemukan solusi terbaik untuk tambang dan menjaga kearifan lokal serta menjawab problematika pertambangan,” ujar dia.

Sebelum FGD ini berlangsung, Ketua Tim Peneliti Dr. Derita Prapti Rahayu memberi pengantar bahwa FGD ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi terkait eksistensi konstruksi Peraturan Bupati Tahun 2011 yang menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai syarat memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Beltim.

Dalam pemaparan Novis selaku perwakilan DLH Beltim menitikberatkan pada kronologis lahirnya WPR dan IPR. Sebelum ada IPR disini kata dia harus ada SIUPR (Surat Izin Usaha Pertambangan Rakyat).

“Penetapan WPR sebelum nya belum ditetapkan, tapi terjadi karena dapat rekomendasi dari Dirjen Minerba dan Gubernur pada saat itu. Saya rasa dengan adanya WPR ini cukup dapat meminimalisir kerusakan lingkungan. Jika dilihat sekarang dengan kewenangan ditarik provinsi penambang pun sporadis dalam menambang,” ungkapnya.

Sementara Marwan dari staf ahli DPRD Beltim mengungkapkan dikeluarkannya Perda terkait WPR yaitu Perda 11 tahun 2011 membuktikan peran DPRD hanya mengawasi implementasi Perda itu saja.

“Setelah WPR itu kewenangannya ditarik oleh Provinsi hemat saya terdapat kekosongan hukum,” katanya.

Tanggapan lain disampaikan oleh PT BIP (Babel Inti Perkasa) yang mengeluhkan adanya kewenangan Provinsi yang begitu besar bahkan dalam fungsi pengawasan pun terkesan dianak tirikan.

“Dan kami sebagai bapak angkat menyayangkan pihak Provinsi bahwa IPR yang sudah ada katanya tidak bisa di perpanjangan lagi mengenai IPR ini sendiri. Padahal keluhan masyarakat terkait ini banyak dan menanyakan gimana nasib kami menambang timah kedepannya,” ulasnya.

Senada dengan PT BIP, Juharto yang juga salah satu penambang sangat menyetujui pernyataan PT BIP mengenai lemahnya pengawasan yang dilakukan pihak Provinsi terutama mengenai pertambangan yang dilakukan di daerah terlarang.

“Kami setuju dengan tanggapan dari PT.BIP tadi bahwa sekarang tidak adanya lagi pengawasan sehingga
disayangkan bahwa banyak sekali orang nambang di daerah terlarang. Semoga pihak pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini,” ungkapnya.

Leave a Reply