Oleh : Nopraanda Putra
TOBOALI, LASPELA – Pesta demokrasi pada Pemilu 2019, yakni Pilpres dan Pileg pada April mendatang menjadi perang eksistensi bagi para kandidat baik di DPRD Kabupaten/Kotamadya, Provinsi maupun di DPR RI.
Tak dipungkiri lagi, waktu yang tak lama lagi menjadi ajang para oknum-oknum caleg memainkan “black campaign” dengan terselubung untuk memuaskan nafsu mentalitasnya agar dapat duduk di kursi dewan.
Dosen Ilmu Politik FISIP UBB, Ibrahim mengatakan perangkat yuridis untuk cekal money politi atau politik uang menurutnya sudah cukup canggih, hanya masalah mental yang masih belim bisa di benahi.
“Perangkat yuridis kita untuk mencegah politik uang sebenarnya sudah cukup canggih, hanya saja soal mentalitas kita masih bermasalah. Demokrasi kita masih terjebak pada demokrasi prosedural, namun masih problematis dari sisi substansial,” kata Ibrahim kepada wartawan belum lama ini.
Menurutnya dari kacamata akademis, pemilu masih dianggap sebagai pesta sehingga dianggap lazim menghamburkan uang dan barang demi tarung suara. Padahal Pemilu adalah kebutuhan, bukan pesta.
“Ketika dipahami sebagai kebutuhan, maka artinya kita bicara soal urgensi untuk mencarinya dengan kerja keras. Yang kita saksikan bahwa Pemilu dipersepsi sebagai cara untuk memimpin dengan berbagai cara dan strategi,” tukasnya.
Selain itu, lanjut dia sejauh mentalitas kandidat masih orientasi kemenangan dengan beragam cara, politik uang masih akan laku keras. “Sebaliknya, sejauh pragmatisme pemilih masih dominan, Pemilu kita pun masih akan miskin substansial,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan kesadaran bagi para kritisi kandidat dan pemilih, agar melahirkan pemimpin yang bijak dan amanah bukan pemimpin penjahat.
“Yang harus kita dorong adalah kesadaran kritis kandidat dan pemilih. Prinsipnya sederhana : yang kita cari adalah pemimpin yang baik dan Pemilu adalah sarana mencegah orang jahat memimpin kita. Atau kira-kira mencegah orang yang tak layak untuk memimpin,” tandasnya.