Opini  

Rekonstruksi Pilkada oleh DPRD, Rasionalisasi Demokrasi Lokal dalam Negara Kesatuan RI

Eddy Supriadi, Dosen Universitas Pertiba Bangka Belitung

Avatar photo
Eddy Supriadi

Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD kembali mencuat oleh berbagai pihak, di inisiasi partai politik nasional di tengah kritik terhadap tingginya biaya politik, maraknya politik uang, serta degradasi kualitas kepemimpinan lokal akibat pilkada langsung.

Tulisan ini berargumen bahwa Pilkada tidak langsung melalui DPRD bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan bentuk rasionalisasi demokrasi lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sepanjang dirancang dengan prinsip konstitusional, akuntabilitas publik, dan meritokrasi kepemimpinan.

Demokrasi elektoral di tingkat lokal Indonesia menghadapi paradoks. Di satu sisi, pilkada langsung dipuja sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Di sisi lain, praktiknya justru melahirkan politik berbiaya tinggi, transaksional, dan sering kali mengorbankan kapasitas kepemimpinan demi popularitas.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar apakah demokrasi lokal telah direduksi menjadi sekadar prosedur elektoral, bukan instrumen untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif dan berkeadilan?

Dalam konteks ini, wacana pilkada oleh DPRD perlu dibaca bukan sebagai pengingkaran demokrasi, tetapi sebagai koreksi struktural terhadap patologi demokrasi elektoral.

Demokrasi Perwakilan dan Kartel Politik

Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942) menegaskan bahwa demokrasi adalah metode institusional untuk menghasilkan pemimpin melalui kompetisi elite, bukan manifestasi langsung kehendak rakyat dalam setiap kebijakan.

Pandangan ini diperkuat Robert Dahl melalui konsep polyarchy, yang menempatkan keterwakilan dan kompetisi elite sebagai elemen sah demokrasi modern.

Namun, Pilkada langsung di Indonesia justru melahirkan apa yang oleh Katz dan Mair disebut sebagai cartel party system partai berkolaborasi dalam pembiayaan politik, mengamankan akses sumber daya negara, dan memindahkan biaya politik kepada kandidat.

Akibatnya, kepala daerah terpilih sering berada dalam jerat kompromi oligarkis, bukan mandat publik substantif.

Pilkada oleh DPRD, jika dirancang secara terbuka, justru dapat memutus mata rantai populisme elektoral yang mahal dan tidak produktif.

Perspektif Konstitusional

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa kepala daerah dipilih “secara demokratis”. Frasa ini secara sengaja tidak membatasi pada pemilihan langsung.

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menegaskan bahwa mekanisme Pilkada merupakan open legal policy, sehingga perubahan sistem pemilihan adalah sah secara konstitusional.

Secara yuridis, pemilihan oleh DPRD tetap memenuhi prinsip demokrasi karena DPRD adalah lembaga perwakilan hasil pemilu rakyat.

Dengan demikian, klaim bahwa Pilkada oleh DPRD mengamputasi hak rakyat tidak memiliki dasar hukum yang kuat, melainkan lebih bersifat normatif-politis.

Dari perspektif sosiologi politik, Pilkada langsung di masyarakat majemuk sering memperdalam fragmentasi sosial.

Politik identitas, sentimen kedaerahan, dan konflik horizontal pasca-pilkada menjadi fenomena berulang di berbagai daerah.

Secara antropologis, demokrasi Indonesia berakar pada tradisi musyawarah dan perwakilan. Clifford Geertz menunjukkan bahwa elite lokal dalam masyarakat Indonesia memiliki fungsi mediasi antara negara dan komunitas.

Pemilihan kepala daerah melalui DPRD dengan mekanisme deliberatif lebih sejalan dengan struktur sosial tersebut dibanding kontestasi massa yang kerap bersifat emosional.

Demokrasi Pancasila dan Deliberasi

Demokrasi Pancasila menempatkan musyawarah dan kebijaksanaan sebagai fondasi pengambilan keputusan politik.

Sila keempat menegaskan bahwa kedaulatan rakyat dijalankan melalui perwakilan, bukan semata-mata melalui pemungutan suara langsung.

Dalam perspektif deliberative democracy (Habermas), kualitas demokrasi ditentukan oleh rasionalitas diskursus, bukan kuantitas suara.

Pemilihan oleh DPRD dengan fit and proper test, uji publik, dan evaluasi rekam jejak memungkinkan deliberasi rasional yang selama ini hilang dalam Pilkada langsung.

Kepala Daerah sebagai Manajer Negara Pendekatan Teknokratis

Dalam konteks desentralisasi fiskal, kepala daerah mengelola APBD bernilai triliunan rupiah, birokrasi besar, serta kebijakan lintas sektor.

Teori New Public Management dan Public Value Management menempatkan kompetensi manajerial, integritas, dan kapasitas kepemimpinan sebagai prasyarat utama.

Pilkada langsung sering gagal menilai aspek-aspek tersebut secara objektif.

Pemilihan oleh DPRD membuka ruang seleksi berbasis kapasitas (merit-based selection), bukan semata popularitas atau kekuatan modal.

Dimensi Ekonomi Politik

Biaya Pilkada langsung membebani APBD dan menciptakan insentif koruptif. Dalam kerangka ekonomi politik, ini memperkuat logika rent seeking dan melemahkan efisiensi pemerintahan daerah.

Pilkada oleh DPRD berpotensi menurunkan biaya politik, memotong transaksi horizontal, dan mengalihkan fokus kepala daerah pada kinerja, bukan pengembalian modal politik.

Pilkada oleh DPRD bukan antitesis demokrasi, melainkan upaya rekonstruksi demokrasi lokal agar lebih rasional, deliberatif, dan berorientasi pada kualitas kepemimpinan.

Dalam kerangka NKRI, demokrasi tidak boleh dipahami secara prosedural semata, tetapi harus diukur dari kemampuan sistem menghasilkan pemimpin yang kompeten, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik.

Perdebatan Pilkada seharusnya tidak berhenti pada romantisme partisipasi, tetapi bergerak menuju pertanyaan substantif: demokrasi untuk siapa, dan untuk tujuan apa?.(*)

Leave a Reply