Opini  

UMP Babel Naik, Angka Penting, Martabat Lebih Penting

Oleh: Eddy Supriadi, (Akademisi Universitas Pertiba)

Avatar photo
Headline Koran Media Laskar Pelangi Edisi 353

SETIAP kenaikan upah minimum selalu membawa dua wajah. Di satu sisi, ia disambut sebagai kabar baik tanda negara masih hadir dalam urusan kesejahteraan pekerja. Di sisi lain, ia kerap menyisakan tanya apakah angka itu sungguh cukup untuk hidup layak, atau sekadar mematuhi regulasi?
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Bangka Belitung 2026 sebesar Rp4.035.000, naik Rp158.400 dari tahun sebelumnya, berada tepat di persimpangan itu. Secara formal, keputusan ini sah, patuh aturan, dan mengikuti formula nasional. Namun secara substantif, keadilan upah belum tentu ikut naik bersama angka.

Di Atas Kertas UMP Naik, Ekonomi Aman
Dari sudut pandang makro ekonomi, kenaikan UMP Bangka Belitung 2026 dapat dianggap moderat dan aman. Ia tidak melonjak ekstrem, tidak mengguncang dunia usaha, dan relatif sejalan dengan laju inflasi serta pertumbuhan ekonomi daerah. Bagi pemerintah, terutama di era Presiden Prabowo Subianto yang menekankan efisiensi fiskal, stabilitas ekonomi, dan penguatan sektor produktif, pendekatan kehati-hatian ini terasa masuk akal.
Upah, dalam logika ini, bukan sekadar alat kesejahteraan, tetapi juga instrumen menjaga iklim investasi dan keberlanjutan lapangan kerja. Negara tidak ingin kenaikan upah justru berujung pada PHK atau stagnasi industri, ekonomi tidak hanya hidup di atas kertas kebijakan.

Di Lapangan Hidup Tidak Sesederhana Formula
Ketika UMP 2026 dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) pekerja lajang di Bangka Belitung, hasilnya memang terlihat “aman”. Dengan simulasi KHM sekitar Rp3,3-3,4 juta per bulan, UMP masih berada di atasnya.
Tetapi hidup manusia tidak berhenti pada KHM. KHM hanya menjamin seseorang bertahan hidup, bukan hidup dengan martabat. Selisih sekitar Rp600 -700 ribu itu cepat menguap ketika pekerja
telah berkeluarga,menghadapi biaya pendidikan anak, menanggung cicilan,
atau berhadapan dengan harga pangan dan sewa hunian yang terus merangkak naik.
Di titik inilah upah minimum diuji bukan oleh rumus, tetapi oleh realitas sosial.

Baca Juga  Ini Rincian Biaya Hidup Layak di 38 Provinsi, Babel Capai Rp 4.714.805

KFM Standar Minimum yang Terlalu Minimal
Sering kali pemerintah merasa cukup ketika UMP berada di atas Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Padahal, KFM hanyalah ukuran paling dasar agar manusia tidak jatuh ke jurang kemiskinan absolut. Menggunakan KFM sebagai tolok ukur keberhasilan kebijakan upah sama artinya dengan menurunkan standar kesejahteraan menjadi sekadar soal makan dan tidur.
Dalam perspektif keadilan sosial, negara seharusnya tidak puas hanya karena pekerja “masih bisa hidup”, tetapi memastikan pekerja bisa hidup dengan aman, bermartabat, dan berdaya.

Upah Layak Terlupa

Dalam kajian ketenagakerjaan modern, termasuk kerangka ILO tentang Decent Work dan pendekatan kapabilitas Amartya Sen, upah dipandang sebagai alat untuk memperluas pilihan hidup manusia. Upah layak memungkinkan pekerja
meningkatkan kualitas hidup,
menabung,
mengakses pendidikan dan kesehatan,
serta memiliki rasa aman terhadap masa depan.
Upah yang hanya cukup untuk hari ini, tetapi rapuh untuk esok hari, adalah upah minimum yang gagal menjadi upah pembangunan.
Dimensi Sosial dan Antropologis Bangka Belitung
Bangka Belitung bukan sekadar wilayah ekonomi, tetapi ruang sosial dengan budaya gotong royong, tanggung jawab keluarga, dan beban sosial yang kuat. Dalam konteks ini, standar “pekerja lajang” sering kali tidak relevan dengan kenyataan hidup pekerja.
Secara antropologis, pekerja di daerah ini kerap menjadi tulang punggung keluarga besar. Maka kebijakan upah yang terlalu teknokratis berisiko terputus dari denyut kehidupan masyarakatnya sendiri.

Baca Juga  Biaya Hidup Layak di Babel Capai Rp 4,7 Juta, UMP Baru Rp 4.035.000, Apindo Sebut Dipenuhi Secara Bertahap

Tantangan Kebijakan di Era Prabowo
Pemerintahan Prabowo menghadapi dilema klasik menjaga stabilitas ekonomi tanpa mengorbankan keadilan sosial. Kenaikan UMP yang moderat mungkin tepat secara makro, tetapi akan kehilangan makna jika tidak disertai kebijakan pendukung.
Upah tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh
pengendalian harga pangan,
kebijakan hunian terjangkau,
transportasi publik yang murah,
serta jaminan sosial yang kuat dan tepat sasaran.
Tanpa itu, kenaikan UMP hanya menjadi ritual tahunan administratif naik angka, tetapi stagnan kesejahteraan.

Angka Penting, Martabat Lebih Penting
UMP Bangka Belitung 2026 menunjukkan negara bekerja sesuai regulasi. Namun pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah kebijakan ini sudah bekerja untuk manusia?
Upah bukan sekadar soal ekonomi. Ia adalah pengakuan negara atas nilai kerja dan martabat warganya. Jika negara ingin membangun Indonesia yang kuat dan berdaulat, maka pekerja tidak boleh terus-menerus diminta bersabar atas nama stabilitas.
Keadilan upah bukanlah ancaman bagi ekonomi. Justru di sanalah fondasi ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dibangun. (*)

 

Leave a Reply