Opini  

Hari Ibu dan Krisis Kesehatan Mental yang Diabaikan

Oleh: Eci Silpia  (Dosen, Pemerhati Isu Sosial serta Kebijakan Publik)

Avatar photo

SETIAP Hari Ibu, kita mengulang ritual yang sama: bunga, ucapan manis, unggahan media sosial tentang “ibu paling hebat di dunia”. Namun, di balik perayaan itu, ada satu hal yang nyaris tak pernah kita rayakan—bahkan sering kita abaikan—yakni kesehatan mental ibu.

Padahal, di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan ini, ibu justru berada di garis depan krisis kesehatan mental keluarga.

Ibu hari ini tidak hanya dituntut melahirkan dan membesarkan anak. Ia juga diharapkan menjadi pengelola rumah tangga, pendamping emosional keluarga, pengambil keputusan domestik, sekaligus—dalam banyak kasus—penopang ekonomi. Semua dilakukan dengan satu tuntutan tak tertulis: tetap sabar, tetap kuat, dan tidak mengeluh.

Kesehatan mental ibu sering runtuh bukan karena satu peristiwa besar, melainkan karena akumulasi beban mental yang tak terlihat. Mulai dari mengingat jadwal imunisasi, kebutuhan sekolah anak, kondisi emosional pasangan, hingga urusan domestik sehari-hari—semuanya disimpan di kepala ibu.

Ironisnya, beban ini masih kerap dianggap sebagai bagian dari “kodrat keibuan”, bukan sebagai kerja mental yang melelahkan. Akibatnya, ketika ibu merasa lelah, cemas, atau depresi, respons yang muncul bukan dukungan, melainkan penghakiman: “Ibu harus kuat.”

Baca Juga  Ibu sebagai Terapi Ruhani Generasi Rapuh

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa lebih dari setengah ibu di Indonesia mengalami gejala depresi pascapersalinan, namun hanya sebagian kecil yang mendapatkan bantuan profesional. Depresi ibu bukan hanya urusan pribadi, tetapi masalah kesehatan publik yang berdampak langsung pada tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga.

Berbagai studi menunjukkan bahwa kondisi mental ibu sangat menentukan kualitas relasi dalam keluarga. Anak yang tumbuh bersama ibu yang mengalami stres kronis lebih rentan mengalami gangguan emosi, kesulitan belajar, hingga masalah perilaku.

Dengan kata lain, kesehatan mental ibu adalah fondasi kesehatan mental bangsa. Namun fondasi ini justru dibiarkan rapuh.

Kita rajin membicarakan bonus demografi dan generasi emas 2045, tetapi lupa bahwa generasi itu dibesarkan oleh ibu-ibu yang kelelahan secara psikologis, sering merasa sendirian, dan tidak memiliki ruang aman untuk pulih.

Peringatan Hari Ibu di Indonesia terlalu sering berhenti pada simbol, bukan substansi. Kita memuliakan ibu lewat seremoni, tetapi abai memperjuangkan kesejahteraannya.

Baca Juga  Ibu sebagai Terapi Ruhani Generasi Rapuh

Padahal, penghormatan sejati kepada ibu bukan sekadar ucapan terima kasih, melainkan keberpihakan kebijakan dan budaya: layanan kesehatan mental ibu yang mudah diakses di puskesmas, skrining psikologis pascamelahirkan yang menjadi standar, edukasi keluarga agar beban pengasuhan tidak sepenuhnya ditumpukan pada ibu, serta budaya sosial yang tidak lagi memuliakan pengorbanan ibu sambil menutup mata pada penderitaannya.

Hari Ibu seharusnya menjadi momentum kejujuran kolektif: bahwa banyak ibu sedang tidak baik-baik saja, dan itu bukan kegagalan pribadi mereka. Itu adalah kegagalan kita sebagai masyarakat yang terlalu lama menikmati kerja emosional ibu tanpa menyediakan sistem pendukung yang layak.

Jika kita benar-benar menghormati ibu, maka pertanyaan terpenting di Hari Ibu bukanlah “Sudahkah kita berterima kasih?”, melainkan “Sudahkah kita membuat hidup ibu lebih manusiawi?”

Karena ibu tidak hanya layak dirayakan. Ia layak didengar, dipahami, dan dilindungi—terutama kesehatan mentalnya. (*)

 

Leave a Reply