“Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
Lukas 10:29
Pertanyaan sederhana ini—“Siapakah sesamaku manusia?”—adalah salah satu pertanyaan paling penting dalam kehidupan orang percaya. Pertanyaan ini bukan hanya masalah definisi, tetapi menyentuh inti dari gaya hidup yang Yesus ajarkan.
Pertanyaan itu muncul dari seorang ahli Taurat yang sebenarnya ingin membenarkan dirinya. Ia sudah tahu hukum yang terutama—mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama—tetapi ia ingin memastikan batasnya. Ia ingin tahu sejauh mana ia “wajib” mengasihi. Dengan kata lain, ia sedang mencari pagar: apakah sesama itu hanya keluarga, kelompok dekat, orang sebangsa, atau orang yang sama keyakinan?
Namun, cara Yesus menjawab justru membuka batas itu selebar-lebarnya.
Yesus tidak menjawab dengan definisi teologis atau penjelasan panjang. Ia memakai sebuah cerita sederhana yang setiap orang dapat pahami, namun sekaligus menghancurkan tembok-tembok yang selama ini mereka bangun. Sebuah perumpamaan yang kemudian dikenal sepanjang zaman sebagai Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati.
Kisah yang Menggugah Batas
Dalam Lukas 10:30–37, Yesus menceritakan seorang pria yang dirampok, dipukuli, hingga hampir mati di pinggir jalan. Ia tidak disebutkan sukunya, bangsanya, atau latar belakangnya. Tetapi para pendengar Yesus pada waktu itu pasti menganggap ia orang Yahudi, sebab jalan itu adalah jalur Yahudi.
Sebelum orang Samaria muncul, dua tokoh yang tampak sangat rohani datang terlebih dahulu: seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya melihat korban itu. Keduanya punya kesempatan. Tetapi keduanya memilih berjalan terus di sisi lain. Mungkin karena takut najis, mungkin karena terburu waktu, mungkin karena rasa aman, atau mungkin karena pikir mereka: “Ini bukan urusan saya.”
Barulah datang seorang Samaria—yang secara budaya dianggap musuh orang Yahudi. Tetapi justru dialah yang berhenti. Ia turun dari keledainya, membersihkan luka, membalutnya, mengangkat tubuh itu ke atas kendaraannya, membawa ke penginapan, merawatnya, bahkan membayar biaya perawatan lanjutan.
Perbedaan antara mereka bukan soal siapa yang “lebih rohani”, tetapi soal siapa yang berbelas kasih.
Dan Yesus bertanya: “Siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”
Ahli Taurat itu bahkan tidak dapat mengucapkan kata “orang Samaria”. Ia hanya menjawab:
“Orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya.”
Yesus berkata “Pergilah, dan perbuatlah demikian.”
Dengan kata lain, Yesus mengubah pertanyaan dasar itu. Bukan lagi:
“Siapa yang pantas menjadi sesamaku?” Tetapi: “Untuk siapa aku bisa menjadi sesama?”
Kasih itu Tidak Dibatasi oleh Identitas
Ketika kita membaca kisah ini, kita sering berpikir: “Ya, saya mau seperti orang Samaria.” Tetapi jika kita jujur, lebih sering kita mirip imam dan Lewi. Kita hidup cepat, sibuk, fokus pada agenda, dan sering melewati banyak orang yang sebenarnya sedang terluka.
Di rumah, mungkin ada anggota keluarga yang butuh perhatian kita, tetapi kita sibuk dengan gawai, pekerjaan, atau kepenatan.
Di gereja, mungkin ada jemaat yang duduk sendirian, merasa asing, tetapi kita sibuk dengan lingkaran kita sendiri.
Di kantor, ada rekan yang sedang bergumul, tetapi kita tidak mau “repot” ikut peduli.
Di media sosial, ada orang yang menumpahkan beban, tetapi kita memilih mengabaikan atau malah menghakimi.
Mengapa kita seperti itu? Karena kita sering membatasi kasih kita hanya pada orang yang nyaman bagi kita.
Yesus menunjukkan bahwa kasih sejati justru terlihat ketika batas itu dilewati.
Ketika kita mengasihi bukan karena kesamaan, tetapi karena belas kasihan.
Ketika kita hadir bukan karena hubungan dekat, tetapi karena kesempatan Tuhan.
Itulah yang dilakukan orang Samaria itu.
Sesama adalah Orang yang Tuhan Taruh di Jalan Kita
Sering kali kita berpikir “sesama” adalah kelompok tertentu: keluarga, saudara seiman, sahabat, atau mereka yang sepemahaman dengan kita. Padahal menurut Yesus, sesama adalah siapa pun yang Tuhan tempatkan di sepanjang perjalanan hidup kita.
Sesama bisa orang dekat, bisa orang asing. Bisa orang yang kita kenal, bisa orang yang tidak sependapat dengan kita. Bisa orang yang menyenangkan, bisa yang menyulitkan.
Sesama adalah orang yang luka dan membutuhkan uluran tangan kita. Dan kadang luka itu tidak terlihat di permukaan. Luka bisa berupa: kegagalan, kesepian, tekanan keluarga, kehilangan arah, pergumulan batin, hubungan yang retak, bahkan perasaan tidak berharga.
Banyak orang berusaha menyembunyikan luka mereka dengan tawa, humor, atau aktivitas. Tetapi ketika Tuhan menaruh seseorang dalam perjalanan hidup kita, mungkin Tuhan ingin kita menjadi “orang Samaria” bagi mereka.
Mungkin melalui telinga kita, mereka bisa merasa didengar.
Melalui kata-kata kita, mereka merasa dihargai.
Melalui bantuan kecil kita, mereka merasakan kasih Tuhan.
Mengasihi Sesama Tidak Selalu Butuh Hal Besar
Kadang kita berpikir mengasihi sesama harus berupa tindakan heroik. Padahal tindakan kecil yang konsisten bisa membawa dampak besar. Hal-hal sederhana seperti:
menyapa orang yang biasanya tidak disapa, mendengar dengan sabar, tidak buru-buru menilai, mendoakan seseorang secara pribadi, membantu tanpa pamrih, memberi ruang bagi orang lain untuk bertumbuh, memilih untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Di mata Tuhan, tindakan kecil dengan kasih tulus sering lebih berharga daripada pelayanan besar tanpa hati.
Yesus tidak memuji orang Samaria karena ia kaya, pintar, atau berkuasa. Ia memuji karena hatinya bergerak oleh belas kasihan.
Begitu juga kita. Tuhan tidak menuntut kita untuk melakukan hal di luar kemampuan kita. Ia hanya ingin kita peka, berbelas kasih, dan bersedia bertindak.
Kasih Tidak Menunggu Kesempurnaan
Jangan tunggu hidup kita beres dulu baru mau mengasihi. Jangan tunggu mood baik. Jangan tunggu kondisi ideal. Orang Samaria itu ketika berhenti pasti juga punya agenda, punya rencana, punya perjalanan. Tetapi ketika ia melihat orang yang terluka, ia menunda langkahnya demi kasih.
Mengasihi sesama sering kali berarti bersedia diinterupsi oleh kebutuhan orang lain.
Itulah kasih yang dipraktikkan Yesus. Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, melainkan Ia hidup dalam kasih dan Ia sendiri adalah sumber kasih itu.
Ia menyentuh orang kusta, makan dengan orang berdosa, menghibur yang berduka, dan mengampuni bahkan saat Ia tergantung di kayu salib.
Kasih seperti itulah yang Ia titipkan kepada kita.
Ketika Kita Mengasihi Sesama, Kita Sedang Menyentuh Hati Tuhan
Mengasihi sesama bukan hanya tindakan etika atau moral. Itu ibadah.
Yesus berkata bahwa saat kita memberi makan orang lapar, memberi tumpangan kepada orang asing, merawat yang sakit, atau mengunjungi yang terpenjara—kita sedang melakukannya bagi Dia (Matius 25:40).
Setiap kali kita memperhatikan sesama, kita sedang menyentuh hati Tuhan.
Setiap kali kita menolong orang yang terluka, kita sedang memuliakan Tuhan.
Setiap kali kita mengampuni, kita sedang menunjukkan karakter Kristus.
Kasih kepada sesama adalah bukti bahwa Kristus hidup di hati kita.
Penting untuk direnungkan:
“Bukan siapa yang layak engkau kasihi, tetapi kepada siapa engkau dapat menunjukkan kasih.”
Sesama adalah siapa pun yang Tuhan taruh di jalan hidup Anda hari ini. Mungkin itu pasangan Anda. Mungkin itu anak Anda. Mungkin itu jemaat yang sedang bergumul.Mungkin itu rekan kerja yang tampak kuat tapi hatinya rapuh. Mungkin itu orang asing yang Tuhan pertemukan secara tidak sengaja. Atau mungkin itu seseorang yang selama ini sulit Anda terima.
Apa pun bentuknya, hari ini Tuhan memanggil kita untuk melakukan apa yang dilakukan orang Samaria itu:
melihat dengan belas kasihan dan bertindak dengan kasih. Amin. (*)



Leave a Reply