Opini  

Tata Kelola Keuangan Daerah di Masa Fiskal Sulit: Pemda Jangan Sembarangan Potong TPP ASN

Eddy Supriadi, Akademisi Universitas Pertiba (Uniper)

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Eddy Supriadi

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-pandemi dan di tengah tekanan fiskal nasional, banyak pemerintah daerah menghadapi tantangan serius dalam menjaga keseimbangan antara pendapatan dan belanja.

Transfer pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH) mengalami tekanan, sementara beban belanja tetap tinggi.

Kondisi ini mendorong sejumlah daerah termasuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung serta kabupaten/kota di bawahnya mengambil langkah efisiensi dengan memotong Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) mulai 30%-60%

Padahal, struktur APBD ideal justru menempatkan keseimbangan belanja pada komposisi:

– Belanja Modal: 40%

– Belanja Pegawai: 30%

– Belanja Barang dan Jasa: 30%

Namun, ketika daerah menghadapi tekanan fiskal, yang paling mudah dipotong selalu tunjangan pegawai. Pertanyaannya: apakah ini langkah bijak dan berkelanjutan?

Efisiensi yang Semu

Dari sisi ekonomi publik, pemotongan TPP memang tampak efisien dalam jangka pendek karena langsung mengurangi beban belanja rutin. Namun, langkah ini bersifat quick fix, bukan solusi struktural.

Belanja Pegawai adalah instrumen yang menopang kualitas pelayanan publik.

Ketika motivasi ASN menurun karena pendapatan berkurang, dampak lanjutannya adalah turunnya produktivitas dan kualitas layanan masyarakat.

Akibatnya, efisiensi yang dicapai di atas kertas justru menciptakan inefisiensi sosial jangka panjang.

Secara fiskal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengamanatkan agar keputusan fiskal menjamin kesinambungan pelayanan publik dan memperhatikan keseimbangan antarjenis belanja.

Pemotongan TPP tanpa analisis mendalam terhadap implikasi kinerja dan sosial berpotensi bertentangan dengan prinsip value for money (efektivitas, efisiensi, ekonomis) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP 12/2019.

Manajemen Publik dan Tata Kelola Pemerintahan Modern

Dalam paradigma manajemen publik modern (New Public Management – NPM), keberhasilan organisasi pemerintah tidak hanya diukur dari kemampuan menekan biaya, tetapi dari pencapaian hasil (outcome) yang memberikan nilai tambah bagi publik.

Teori NPM menekankan pada: (1) kinerja berbasis hasil (performance-based management), (2) akuntabilitas publik dan transparansi, (3) efisiensi operasional dengan indikator terukur, dan (4) desentralisasi pengambilan keputusan.

Konsep ini sejalan dengan Good Governance sebagaimana ditegaskan dalam PP No. 101 Tahun 2000 dan Permendagri No. 77 Tahun 2020, yang menuntut akuntabilitas, transparansi, efisiensi, keadilan, dan partisipasi publik.

Pemotongan TPP tanpa dasar kinerja dan tanpa transparansi publik bertentangan dengan esensi good governance.

ASN sebagai Penggerak Layanan Publik

Dari aspek sosiologis, ASN bukan sekadar penerima gaji, melainkan pelaksana kebijakan publik.

Ketika tunjangan kinerja mereka dipotong tanpa dasar kinerja yang objektif, timbul kesan ketidakadilan dan lemahnya penghargaan terhadap dedikasi.

TPP diatur dalam PermenPANRB No. 7 Tahun 2021 dan PP No. 30 Tahun 2019.

Dalam aturan ini, TPP bukan hak absolut, melainkan penghargaan atas capaian kinerja dan disiplin. Jika ingin menyesuaikan TPP, dasar logisnya adalah evaluasi kinerja, bukan tekanan fiskal.

Kepatuhan terhadap Prinsip Hukum dan Kewenangan Daerah

Setiap kebijakan fiskal daerah harus tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan.

Pemotongan TPP 30% -60% tanpa dasar hukum formal dapat menimbulkan persoalan administratif.

Menurut Pasal 298 ayat (1) UU 23 Tahun 2014 dan Pasal 160 PP 12 Tahun 2019, perubahan terhadap komponen belanja pegawai wajib dituangkan dalam perubahan APBD melalui mekanisme formal dan didukung analisis kinerja serta kemampuan fiskal.

Pemotongan tanpa dasar hukum rentan digugat karena melanggar prinsip due process of budgeting.

Keadilan dan Rasionalitas dalam Anggaran Publik

Dari sudut pandang filosofis, penganggaran publik bukan sekadar angka, melainkan upaya mewujudkan keadilan sosial dan rasionalitas dalam distribusi sumber daya negara.

Pemotongan TPP secara horizontal bertentangan dengan asas keadilan distributif.

Filosofi keuangan publik sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa keuangan negara digunakan untuk kemakmuran rakyat, termasuk kesejahteraan aparatur.
Jalan Tengah yang Produktif

1.Penyesuaian TPP berbasis kinerja, bukan pemotongan massal.

2. Audit dan efisiensi Belanja Barang dan Jasa.

3. Refocusing Belanja Modal produktif.

4. Peningkatan PAD dan inovasi fiskal sesuai UU No. 1 Tahun 2022.

5. Tranparansi dan komunikasi publik berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008.

Rasionalitas, Keadilan, dan Akal Sehat Fiskal

Pemotongan TPP 30%-60% mungkin terlihat sebagai solusi cepat, namun sejatinya langkah instan yang berisiko mengorbankan semangat birokrasi dan integritas tata kelola.

Solusi bijak adalah menyentuh struktur anggaran, bukan semangat pegawai. Efisiensi sejati lahir dari manajemen kinerja.

Dengan menyeimbangkan aspek ekonomi, fiskal, sosial, yuridis, dan filosofis, pemerintah daerah akan menemukan win-win solution: fiskal tetap sehat, ASN tetap bermotivasi, dan pelayanan publik tetap berkualitas.(*)

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply