Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Bangka Belitung beberapa waktu lalu bukan sekadar agenda seremonial, melainkan babak baru penataan sumber daya alam nasional.
Di Smelter PT Tinindo Internusa, Pangkalpinang, Presiden menyaksikan penyerahan aset rampasan negara senilai lebih dari Rp6 triliun kepada PT Timah Tbk meliputi ratusan alat berat, enam smelter, logam timah, dan uang tunai ratusan miliar rupiah.
Langkah ini menjadi penegasan bahwa negara mulai kembali hadir di sektor yang selama ini dikuasai mekanisme pasar abu-abu.
Penambangan ilegal yang sempat dianggap “nafkah rakyat” justru merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah dan meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang panjang.
Namun di balik momentum besar ini, ada satu kenyataan yang tak kalah penting fiskal daerah sedang sesak napas.
Pendapatan asli daerah stagnan, ketergantungan pada dana transfer meningkat, sementara belanja sosial dan politik justru membengkak.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan ekonomi berbasis rakyat menjadi satu-satunya jalan rasional untuk memulihkan daya tahan ekonomi lokal.
Dan di titik inilah Koperasi Merah Putih muncul bukan sebagai jargon, melainkan solusi.
Koperasi sebagai Jalan Tengah
Dalam pemikiran klasik Mohammad Hatta, koperasi adalah alat distribusi keadilan ekonomi yang mengubah rakyat dari objek menjadi subjek pembangunan.
Gagasan itu kini menemukan relevansinya di Bangka Belitung daerah kaya sumber daya, tapi miskin kelembagaan ekonomi rakyat.
Koperasi Merah Putih dapat menjadi penampung resmi hasil tambang rakyat, membeli logam timah melalui mekanisme harga transparan, dan menjualnya ke PT Timah dalam sistem legal.
Dengan dukungan negara, koperasi bisa menjadi “perantara keadilan” antara pendulang rakyat dan industri besar.
Namun idealisme itu butuh bahan bakar modal.
Pemerintah dapat mendorong skema pembiayaan koperasi melalui perbankan nasional dan daerah Bank Mandiri, BRI, BNI, Bank Sumsel Babel, hingga perbankan lainnya dalam bentuk credit line berbunga rendah atau pembiayaan bergulir.
Dengan begitu, koperasi tak lagi bergantung pada tengkulak yang mengendalikan harga dan nasib penambang.
Koperasi Merah Putih menjadi instrumen ekonomi sekaligus sosial memulihkan kepercayaan rakyat terhadap negara, dan memulihkan ekonomi desa dari ketimpangan struktural
Menghidupkan Kepercayaan Sosial
Krisis ekonomi lokal di Bangka Belitung bukan hanya soal uang, tapi soal runtuhnya kepercayaan sosial. Selama bertahun-tahun, masyarakat kecil bekerja di ruang gelap ekonomi yang tidak dilindungi hukum, tapi juga tidak dilayani negara.
Koperasi Merah Putih dapat menjadi wadah membangun kembali social trust itu. Ia menjadi sekolah ekonomi rakyat tempat belajar literasi keuangan, manajemen usaha, hingga etika pertambangan yang ramah lingkungan.
Dalam konteks teori ekonomi kelembagaan, keberhasilan sistem ekonomi rakyat sangat bergantung pada trust dan collective capital.
Ketika masyarakat mulai percaya pada sistem yang adil, mereka akan lebih mudah meninggalkan praktik ekonomi ilegal yang selama ini menjadi pilihan karena kebutuhan, bukan keserakahan.
Legalitas Rakyat, Legitimasi Negara
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Sayangnya, praktik lapangan sering membalikkan kalimat itu rakyat bekerja keras, negara menonton; negara berdaulat di atas kertas, tapi tidak di atas tanahnya sendiri.
Koperasi Merah Putih dapat menjadi jembatan legal antara aktivitas rakyat dan sistem hukum negara.
Dengan izin resmi dan integrasi digital bersama PT Timah Tbk serta pengawasan BUMD, aktivitas tambang rakyat bisa masuk dalam kerangka legal dan fiskal yang jelas.
Manfaatnya ganda, negara memperoleh penerimaan dan data produksi, lingkungan dapat dikendalikan, rakyat mendapat perlindungan hukum dan harga yang adil.
Model ini adalah bentuk nyata dari konsep “ekonomi berkeadilan” yang tidak mengorbankan legalitas demi kesejahteraan, atau sebaliknya.
Menjawab Krisis Fiskal Daerah
Dalam banyak daerah, fiskal kini lebih mirip selang infus daripada nadi ekonomi. Ketergantungan pada APBN membuat daerah kehilangan kreativitas fiskal.
Padahal, local economic resilience hanya bisa dibangun dari sirkulasi ekonomi yang hidup di akar rumput.
Koperasi Merah Putih bisa menjadi mesin fiskal alternatif bukan lewat pajak tambahan, tapi melalui value chain ekonomi rakyat yang legal dan terukur.
Ketika hasil tambang rakyat terdata, PAD meningkat, perbankan masuk, dan konsumsi lokal berputar.
Ekonomi rakyat bukan lagi pos subsidi, tetapi sumber penerimaan baru. Di sinilah ekonomi kerakyatan bertransformasi dari romantisme menjadi strategi fiskal.
Sinergi Baru Ekonomi Merah Putih
Penyerahan enam smelter rampasan negara kepada PT Timah Tbk adalah simbol sinergi baru antara negara, industri, dan rakyat.
Koperasi Merah Putih bisa menjadi pemasok bahan baku rakyat; PT Timah sebagai pengolah utama; dan BUMD serta perbankan sebagai pengelola keuangan.
Dengan sistem digitalisasi, audit publik, dan kemitraan transparan, tata niaga timah dapat berubah dari ekonomi bayangan menjadi ekonomi terang yang berkeadilan.
Kebijakan ini juga menjadi cerminan arah politik ekonomi Presiden Prabowo menata ulang kekayaan nasional agar kembali kepada rakyat, bukan kepada segelintir elite.
Dari Desa, Timah Kembali untuk Bangsa
Momentum besar di Bangka Belitung bukan hanya soal penyerahan aset, melainkan penyerahan harapan.
Koperasi Merah Putih menjadi simbol bahwa rakyat tidak boleh lagi menjadi penonton dalam kekayaan mereka sendiri.
Dari desa, timah kembali untuk bangsa.
Dari rakyat, fiskal daerah kembali berdenyut.
Dan dari Koperasi Merah Putih, ekonomi Merah Putih berdiri tegak bukan di atas seremonial, tapi di atas kerja nyata ekonomi rakyat.(*)
Leave a Reply